Sabtu, 21 Juli 2007

Keberatan & banding pajak bakal kian marak

Keberatan & banding pajak bakal kian marak
www.pajak.go.id
Pembahasan Pasal 25 RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang tata cara keberatan pajak di panitia khusus (Pansus) DPR bakal dirampungkan hari ini. Antara kubu yang pro dan kontra dengan usulan pemerintah masih tetap bertahan pada argumentasinya masing-masing, sehingga pemungutan suara bisa jadi akan menjadi alternatif terakhir.
Melihat komposisi antara yang pro dan yang kontra dengan redaksional dan konstruksi pasal yang disodorkan pemerintah, tampaknya kelompok prp akan memenangkan pertarungan.
Isi Pasal 25 RUU KUP adalah sebagai berikut:
Pasal 25 ayat 7: Dalam hal WP mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, WP wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sidikit sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Pasal 25 ayat 8: Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai denda 50%.
Pasal 25 ayat 8: Dalam WP mengajukan banding, sanksi denda tidak dikenakan.
Pasal 25 ayat 10: Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Pasal 25 ayat 12: Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan..., tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat 1 dan ayat Ia.
Ubah perilaku Perubahan Pasal 25 UU KUP menjadi seperti yang diusulkan pemerintah akan membuat perubahan besar dalam proses dan perilaku dunia usaha.
Selama ini, Ditjen Pajak berpandangan bahwa self assessment dalam sistem perpajakan nasional berakhir ketika wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan pajak (SPT).
Jika Ditjen Pajak mempunyai bukti bahwa perhitungan dan jumlah pajak yang dibayar wajib pajak tidak benar, maka berdasarkan Pasal 12 ayat 3 UU KUP, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak semestinya. Pasal ini jelas mensyaratkan keberadaan "bukti" sebagai syarat menetapkan jumlah pajak yang semestinya.
Masalahnya, Dirjen Pajak juga berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Artinya, pemeriksaan pajak bisa dilakukan bukan karena Dirjen Pajak mempunyai bukti atau data bahwa jumlah pajak yang dilaporkan tidak sama dengan jumlah yang terutang, tapi justru untuk mencari bukti (baca: pembenaran) bahwa jumlah pajak yang dilaporkan tidak sama dengan jumlah yang seharusnya.
Inilah sumber dari segala sumber sengketa dalam administrasi perpajakan.
Bila Pasal 25 itu disetujui, maka hasiL pemeriksaan menjadi tidak ada artinya (paling tidak untuk sementara waktu) jika wajib pajak tetap menolak mengakui temuan tersebut. Jumlah yang harus dibayar, apabila WP tersebut mengajukan keberatan, adalah sebesar jumlah yang disetujui WP. Bagaimana bila WP tidak mengakui seluruh hasil pemeriksaan? Maka, tidak ada yang harus dibayar baik ketika mengajukan keberatan atau banding.
Yang mencemaskan apabila terjadi moral hazard di mana WP menjadi lebih berani melakukan penghindaran atau penyelundupan pajak, dengan asumsi hanya sekitar 2% surat pemberitahuan pajak yang diperiksa setiap tahunnya, masa daluwarsa diperpendek dari 10 tahun menjadi lima tahun, dan sanksi baru bisa dikenakan setelah proses banding selesai.
Dengan asumsi tersebut maka risiko yang dihadapi WP benar-benar menjadi sangat kecil. Apalagi jika sinyalemen anggota DPR Dradjad H. Wibowo yang menyatakan bahwa konstruksi Pasal 25 akan menggeser korupsi ke Pengadilan Pajak menjadi kenyataan, maka WP nakal menjadi benar-benar di atas angin dan WP yang baik akan "terpaksa" mengikuti gaya WP nakal.
PP jebol
Berdasarkan catatan Bisnis, antara 2001-2005 jumlah SPT yang diperiksa antara 40.000 hingga 50.000 per tahun. Tertinggi tahun 2000, dimana jumlah yang diperiksa mencapai 79.000 SPT. Sayang tidak pernah dipublikasikan, dari jumlah pemeriksaan sebesar itu berapa WP yang mengajukan keberatan.
Namun dari penjelasan para konsultan pajak, jumlah yang mengajukan keberatan tidak sampai setengahnya. WP umumnya lebih menyukai penyelesaian di muka sebelum surat ketetapan pajak (SKP) diketok dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dilakukan.
Keengganan WP mengajukan proses keberatan bisa dimaklumi karena sebagian besar permohonann tersebut akhirnya ditolak. Seorang mantan pejabat pajak menyebutkan, hampir 90% keberatan ditolak pada detik-detik terakhir. WP masih mempunyai hak banding ke Pengadilan Pajak, namun pada umumnya hak tersebut tidak bisa digunakan karena tidak mampumemenuhi syarat lunas 50% utang pajak.
Kini Pasal 25 ayat 12 membebaskan mereka dari kewajiban melunasi utang pajak, karena SKP belum dianggap sebagai utang pajak. Peniadaan hambatan untuk mengajukan banding diyakini akan menstimulasi ,WP untuk mencari keadilan.
Pasal ini memang akan membuat praktik nego atau kongkalikong antara WP dan aparat pemeriksa pajak berkurang dratis. Bukan karena aparat pajak sudah tobat atau WP lebih patuh, tapi karena WP merasa tidak perlu lagi meladeni tawaran semacam itu.
Bisa jadi dari 50.000 berkas SPT yang diperiksa, sebanyak itu pula yang akan mengajukan keberatan. Bila keputusan pejabat atas permohonan keberatan masih seperti sekarang ini, maka semuanya akan mengajukan banding. Berapa kemampuan Pengadilan Pajak menangani berkas perkara setiap tahunnya? Angkanya dapat dilihat pada tabel.
Melihat data statistik tersebut, maka Pengadilan Pajak harus siap-siap menerima gelombang permohonan banding, yang bisa jadi akan meningkat 25 kali lebih banyak dibandingkan sekarang.
Artinya, jumlah Pengadilan Pajak di-25 kali-kan atau jumlah hakimnya yang di-25 kali-kan. Jika tidak maka kualitas putusan hakim menjadi sangat buruk, sebab mereka harus memberi putusan paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima.
Sisi positif dari Pasal 25 UU KUP jika jadi diputuskan oleh DPR dan Ditjen Pajak adalah tersedianya 600 lowongan kerja untuk hakim pajak. Anda tertarik jadi hakim pajak? Selamat bermimpi, karena hampir seluruh hakim pajak diisi pensiunan pegawai pajak atau bea dan cukai. (parwito@bisnis.co.id)
Sumber : Bisnis Indonesia, 31 Mei 2007

Tidak ada komentar: