Sabtu, 21 Juli 2007

DPR Tolak BPP dan KPP

SEBAGIAN besar fraksi di DPR menyetujui usulan pemerintah agar pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) dan Komite Pengawas Perpajakan (KPP) dibatalkan.
Di sisi lain, fraksi-fraksi di DPR belum bersikap tegas mengenai klausul Ayat 7 Pasal 25 RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diusulkan pemerintah. Pasal tersebut mengatur keberatan yang diajukan wajib pajak (WP).
Hal itu terungkap dalam rapat Panitia Musyawarah (Panmus) RUU KUP yang dipimpin Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Rabu (30/5). Rapat tersebut membahas pembentukan BPP, pembentukan KPP, serta masalah keberatan dan banding pajak.
Mengenai klausul Ayat 7 Pasal 25 yang berkembang menjadi 12 ayat, seluruh fraksi DPR setuju bahwa WP harus tetap diperhatikan dan dilindungi. Namun, mereka belum menyinggung sanksi atau denda yang akan dikenakan terhadap WP. Begitu pula yang berkaitan dengan banding.
"WP perlu diberikan keleluasaan mempertahankan haknya. Tapi di sisi lain, potensi hilangnya pendapatan negara juga harus diantisipasi," ujar juru bicara FPG Hamka Yandhu.
Fraksi yang mendukung usulan pembentukan BPP yaitu FPG, FPDIP, FPDS, FKB, FPD, FKS, FPP, FBR, dan FBPD. Sebaliknya, FPAN menilai perlunya pembentukan badan tersebut.
Mengenai pembentukan KPP yang menurut pemerintah akan menyebabkan kesimpangsiuran pengawasan dan tumpang tindih dengan tugas Irjen Depkeu, FPAN dan FPDS menganggap KPP harus dibentuk.
Adapun Pasal 25 belum tuntas dibahas. Ayat 7 hingga 12 Pasal 25 RUU KUP menyatakan, jika mengajukan keberatan pajak, WP wajib melunasi pajak yang harus dibayar minimal sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebelum surat permintaan keberatan disampaikan. Dengan demikian, pelunasan pajak harus dilakukan sebelum WP mengajukan keberatan.
Untuk proses banding, salah satu klausul menyebutkan, bila permohonan banding ditolak atau diterima, denda pembayaran ditetapkan masing-masing sebesar 50% dan 100% dikurangi pajak yang telah dibayar sebelum WP mengajukan keberatan. (C99)
Sumber : Investor Daily Indonesia, 31 Mei 2007

Keberatan & banding pajak bakal kian marak

Keberatan & banding pajak bakal kian marak
www.pajak.go.id
Pembahasan Pasal 25 RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang tata cara keberatan pajak di panitia khusus (Pansus) DPR bakal dirampungkan hari ini. Antara kubu yang pro dan kontra dengan usulan pemerintah masih tetap bertahan pada argumentasinya masing-masing, sehingga pemungutan suara bisa jadi akan menjadi alternatif terakhir.
Melihat komposisi antara yang pro dan yang kontra dengan redaksional dan konstruksi pasal yang disodorkan pemerintah, tampaknya kelompok prp akan memenangkan pertarungan.
Isi Pasal 25 RUU KUP adalah sebagai berikut:
Pasal 25 ayat 7: Dalam hal WP mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, WP wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sidikit sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Pasal 25 ayat 8: Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai denda 50%.
Pasal 25 ayat 8: Dalam WP mengajukan banding, sanksi denda tidak dikenakan.
Pasal 25 ayat 10: Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Pasal 25 ayat 12: Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan..., tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat 1 dan ayat Ia.
Ubah perilaku Perubahan Pasal 25 UU KUP menjadi seperti yang diusulkan pemerintah akan membuat perubahan besar dalam proses dan perilaku dunia usaha.
Selama ini, Ditjen Pajak berpandangan bahwa self assessment dalam sistem perpajakan nasional berakhir ketika wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan pajak (SPT).
Jika Ditjen Pajak mempunyai bukti bahwa perhitungan dan jumlah pajak yang dibayar wajib pajak tidak benar, maka berdasarkan Pasal 12 ayat 3 UU KUP, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak semestinya. Pasal ini jelas mensyaratkan keberadaan "bukti" sebagai syarat menetapkan jumlah pajak yang semestinya.
Masalahnya, Dirjen Pajak juga berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Artinya, pemeriksaan pajak bisa dilakukan bukan karena Dirjen Pajak mempunyai bukti atau data bahwa jumlah pajak yang dilaporkan tidak sama dengan jumlah yang terutang, tapi justru untuk mencari bukti (baca: pembenaran) bahwa jumlah pajak yang dilaporkan tidak sama dengan jumlah yang seharusnya.
Inilah sumber dari segala sumber sengketa dalam administrasi perpajakan.
Bila Pasal 25 itu disetujui, maka hasiL pemeriksaan menjadi tidak ada artinya (paling tidak untuk sementara waktu) jika wajib pajak tetap menolak mengakui temuan tersebut. Jumlah yang harus dibayar, apabila WP tersebut mengajukan keberatan, adalah sebesar jumlah yang disetujui WP. Bagaimana bila WP tidak mengakui seluruh hasil pemeriksaan? Maka, tidak ada yang harus dibayar baik ketika mengajukan keberatan atau banding.
Yang mencemaskan apabila terjadi moral hazard di mana WP menjadi lebih berani melakukan penghindaran atau penyelundupan pajak, dengan asumsi hanya sekitar 2% surat pemberitahuan pajak yang diperiksa setiap tahunnya, masa daluwarsa diperpendek dari 10 tahun menjadi lima tahun, dan sanksi baru bisa dikenakan setelah proses banding selesai.
Dengan asumsi tersebut maka risiko yang dihadapi WP benar-benar menjadi sangat kecil. Apalagi jika sinyalemen anggota DPR Dradjad H. Wibowo yang menyatakan bahwa konstruksi Pasal 25 akan menggeser korupsi ke Pengadilan Pajak menjadi kenyataan, maka WP nakal menjadi benar-benar di atas angin dan WP yang baik akan "terpaksa" mengikuti gaya WP nakal.
PP jebol
Berdasarkan catatan Bisnis, antara 2001-2005 jumlah SPT yang diperiksa antara 40.000 hingga 50.000 per tahun. Tertinggi tahun 2000, dimana jumlah yang diperiksa mencapai 79.000 SPT. Sayang tidak pernah dipublikasikan, dari jumlah pemeriksaan sebesar itu berapa WP yang mengajukan keberatan.
Namun dari penjelasan para konsultan pajak, jumlah yang mengajukan keberatan tidak sampai setengahnya. WP umumnya lebih menyukai penyelesaian di muka sebelum surat ketetapan pajak (SKP) diketok dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dilakukan.
Keengganan WP mengajukan proses keberatan bisa dimaklumi karena sebagian besar permohonann tersebut akhirnya ditolak. Seorang mantan pejabat pajak menyebutkan, hampir 90% keberatan ditolak pada detik-detik terakhir. WP masih mempunyai hak banding ke Pengadilan Pajak, namun pada umumnya hak tersebut tidak bisa digunakan karena tidak mampumemenuhi syarat lunas 50% utang pajak.
Kini Pasal 25 ayat 12 membebaskan mereka dari kewajiban melunasi utang pajak, karena SKP belum dianggap sebagai utang pajak. Peniadaan hambatan untuk mengajukan banding diyakini akan menstimulasi ,WP untuk mencari keadilan.
Pasal ini memang akan membuat praktik nego atau kongkalikong antara WP dan aparat pemeriksa pajak berkurang dratis. Bukan karena aparat pajak sudah tobat atau WP lebih patuh, tapi karena WP merasa tidak perlu lagi meladeni tawaran semacam itu.
Bisa jadi dari 50.000 berkas SPT yang diperiksa, sebanyak itu pula yang akan mengajukan keberatan. Bila keputusan pejabat atas permohonan keberatan masih seperti sekarang ini, maka semuanya akan mengajukan banding. Berapa kemampuan Pengadilan Pajak menangani berkas perkara setiap tahunnya? Angkanya dapat dilihat pada tabel.
Melihat data statistik tersebut, maka Pengadilan Pajak harus siap-siap menerima gelombang permohonan banding, yang bisa jadi akan meningkat 25 kali lebih banyak dibandingkan sekarang.
Artinya, jumlah Pengadilan Pajak di-25 kali-kan atau jumlah hakimnya yang di-25 kali-kan. Jika tidak maka kualitas putusan hakim menjadi sangat buruk, sebab mereka harus memberi putusan paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima.
Sisi positif dari Pasal 25 UU KUP jika jadi diputuskan oleh DPR dan Ditjen Pajak adalah tersedianya 600 lowongan kerja untuk hakim pajak. Anda tertarik jadi hakim pajak? Selamat bermimpi, karena hampir seluruh hakim pajak diisi pensiunan pegawai pajak atau bea dan cukai. (parwito@bisnis.co.id)
Sumber : Bisnis Indonesia, 31 Mei 2007

Konsultan pajak akan ditertibkan

Konsultan pajak akan ditertibkan
Ditjen Pajak tengah menyiapkan sejumlah peraturan guna menertibkan, memperketat pengawasan, pemeriksaan, sekaligus memperjelas batasan hak dan kewajiban para konsultan pajak yang selama ini dinilai terlalu longgar.
Dirjen Pajak Darmin Nasution menyatakan peraturan yang juga akan mempertegas sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin itu ditujukan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) sambil mendongkrak penerimaan.
"Selama ini mereka [konsultan pajak] terlalu loose, kurang pengaturan. Paling-paling selama ini kewajiban mereka hanya melaporkan [kepada kami], dia memberi konsultasi ke siapa. Apakah benar atau tidak, kami tidak tahu," ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Darmin mencontohkan sasaran peraturan itu adalah konsultan yang biasa memberi nasihat kepada kliennya untuk tidak mengisi surat pemberitahuan (SPt) pajak secara benar. "Mereka ini menyuruh WP mengisi SPt sedikit-sedikit, yang banyak buat dia sendiri."
Menjawab pertanyaan apakah sejumlah peraturan yang tengah disiapkan itu bakal mengarah pada sertifikasi ulang jasa konsultan pajak, Dirjen Pajak mengatakan langkah tersebut sebetulnya bukan merupakan sertifikasi ulang, karena hanya sebatas pembenahan menyangkut konsultan pajak.
Dia menilai Peraturan Dirjen Pajak yang selama ini dipakai sebagai dasar pengaturan keberadaan konsultan pajak masih belum cukup kuat mencapai misi tersebut. Karenanya, dasar hukum profesi itu perlu dinaikkan menjadi setingkat Peraturan Menteri Keuangan.
"Kami akan buat aturan bahwa kami juga harus bisa memeriksa [konsultan pajak] secara reguler, walaupun sampel. Kita akan periksa kepatuhan-nya. Seperti kalau jasa akuntan publik itu kan ada Peraturan Menteri Keuangan, bahkan Undang-Undang-nya," kata Darmin.
Dengan peningkatan dasar hukum dari Perdirjen ke Permenkeu itu, Darmin berharap pemerintah bisa mengatur dan memperjelas hak dan kewajiban konsultan pajak, apa yang harus dipatuhi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sekaligus dengan ancaman sanksi.
Saat ini, sambung dia, peraturan-peraturan itu masih dirumuskan. Tapi untuk mempercepat upaya pembenahan jasa konsultasi pajak itu, Ditjen Pajak akan merevisi dulu Perdirjen Pajak-nya, sampai kemudian Permenkeu-nya, yang memakan waktu lebih lama diterbitkan.
Darmin menekankan RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang sudah diketok DPR juga menyinggung perlunya konsultan pajak, yang biasa mendapat kuasa khusus dari WP, turut meneken SPT milik WP. Sebelumnya, konsultan pajak tidak perlu menekennya.
Dengan keharusan kuasa khusus meneken SPT WP, bila dari hasil pemeriksaan terbukti SPT tersebut diisi tidak benar, Ditjen Pajak bisa meminta konsultan atau kuasa khusus itu untuk mempertanggungjawabkannya.
"Dengan cara ini dia harus teken dan kami bisa kejar dia."
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II/2006 menunjukkan 42,93% konsultan pajak merupakan eks pegawai/pejabat pajak.
Sumber : Bisnis Indonesia, 4 Juni 2007

Investor Migas Akan Peroleh Kemudahan Pajak

Investor Migas Akan Peroleh Kemudahan Pajak
KUWAIT SIAP INVESTASI 480 MILIAR DOLAR AS
Kalangan investor minyak dan gas mendapat kado hadiah dari pemerintah Indonesia. Kado tersebut berupa kemudahan sistem perpajakan bagi investor di sektor migas yang mengembangkan industri kilang khususnya di wilayah bagian timur Indonesia.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai pembicaraan bilateral dengan Perdana Menteri Kuwait Sheik Nasser al Mo¦i hammad Al Ahmad Al Sabah di ' Istana Merdeka, Rabu.
Menurut Presiden, pihaknya berjanji pada Juli 2007 pembahasan pemberian insentif pajak sudah dapat diselesaikan, sehingga pembangunan kilang minyak diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi BBM di Indonesia.
Presiden menjelaskan kedua pihak sepakat melanjutkan rencana investasi pembangunan kilang migas oleh Hemoco (Kuwait) di Pulau Selayar Sulawesi Selatan. "MOU melanjutkan pembangunan sudah ditandatangani antara Pertamina dan Hemoco yang saat ini sedang melakukan pengalihan . struktur kepemilikan sahamnya," kata Presiden.
Komitmen penyelesaian pembangunan proyek yang sempat tertunda selama 10 tahun merupakan hasil tindak lanjut kunjungan Presiden Yudhoyono ke Kuwait pada April 2006.
Sementara itu, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Luthfi mengatakan masalah sistem perpajakan merupakan salah satu dari tiga masalah dalam mengembangkan kilang berkapasitas 220.000 barel per hari tersebut.
"Mereka meminta untuk memberikan insentif yang cocok dengan industri kilang minyak yaitu peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2007 tentang-pemberlakuan tax allowance" katanya.
Ia menambahkan, sesungguhnya tax allowance sudah ada mekanismenya tinggal aplikasinya saja terutama pada sektor industri migas. Namun lanjutnya, karena industri tersebut termasuk kategori modal besar maka dapat diberikan insentif. Sedangkan jika teknologinya bergerak cepat maka investor dapat diberikan semacam tax holiday atau keringanan pajak, kata Luthfi.
Selain sistem pajak, masih menurutnya, masalah lain dalam mengembangkan kilang minyak adalah kepastian jaminan pasokan dan struktrur kepemilikan modal Hemoco yang investasinya saat ini mencapai tiga miliar dolar AS. "Dulu ketika Hemoco datang ke BKPM investasi yang diajukan hanya sekitar 1,6 miliar dolar AS, saat ini dapat mencapai 3 miliar dolar AS," paparnya.
Investasi 4000-an Triliun
Pihak Kuwait sendiri, rencananya akan menanamkan investasi di Indonesia senilai 480 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.224 triliun selama kurun waktu 10 tahun. Investasi tersebut akan dilakukan di semua bidang, terutama investasi di pembangunan proyek-proyek infrastruktur.
"Dalam 10 tahun Kuwait akan melakukan pembangunan senilai 480 miliar dolar AS. Mereka menawarkan kepada Indonesia untuk membangun beberapa proyek dalam mega proyek tersebut," ujar Mensesneg Hatta Rajasa, usai mendampingi Wapres Jusuf KaUa bertemu Perdana Menteri Kuwait Syeikh Nasser Al Hamed Al Jaber Al Sabah, di Istana Wapres.
Menurut Hatta, Kuwait tertarik untuk melakukan investasi di proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, serta jalur kereta. Selain membicarakan investasi infrastruktur, Kuwait juga berminat berinvestasi di perbankan Indonesia. Masuknya Kuwait, tentu bakal menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume perdagangan. Kanuari/Dari berbagai number
Sumber : Harian Ekonomi Neraca, 31 Mei 2007

UU Pajak Baru Ciptakan Lowongan Tenaga Pemeriksa Pajak

UU Pajak Baru Ciptakan Lowongan Tenaga Pemeriksa Pajak
Meski sebagian pengusaha menyebut aparat pajak powerful, ternyata mereka hanya memiliki 6.000 orang pemeriksa pajak. Itupun hanya 2.300 yang tergolong pemeriksa fungsional. Sisanya ata wa 3.700 orang adalah pegawai pajak yang bertugas memeriksa, dan tersebar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Idealnya dengan sekitar 6 juta wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kantor pajak harus memiliki sedikitnya 12.000 pemeriksa pajak.
Persoalan kekurangan pemeriksa ini muncul saat rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Rabu (31/5). Maklum, dengan UU KUP yang baru, fungsi pemeriksa menjadi sangat vital. Mengingat adanya kesetaraaan antara wajib pajak dengan petugas pajak alias fiscus. Dus, para fiscus harus meladeni setiap pembayar pajak.
Anggota Pansus KUP Marwoto Mitrohardjono khawatir dengan jumlah aparat yang sedikit dan aturan yang longgar, akan membuat pajak tekor dalam memenuhi setoran ke negara tiap tahunnya. Soalnya kalau dihitung, mereka hanya memeriksa sekitar 2% dari laporan pembayar pajak.
Lagipula, jika berkaca kepada negara lain, jumlah pemeriksa pajak kita memang amat tak seimbang. Di Jepang misalnya, jumlah aparat pajak hingga 40.000 orang, dan 70% diantaranya adalah pemeriksa pajak. Karena itu pembayar pajak di negara tersebut juga patuh. Di Indonesia, jumlah aparat pajak mencapai 32.000, sedangkan pemeriksanya hanya 6.000 orang alias 18,7% saja.
Meski butuh ribuan orang pemeriksa, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution malah menginstruksikan agar 3.700 pemeriksa pajak yang bukan golongan fungsional tidak memeriksa lagi mulai 1 November 2007 mendatang. Sebagai gantinya, ia akan menggenjot perekrutan khusus pemeriksa pajak dalam lima bulan ke depan. "Saya akan mempertahankan minimal 6.000 pemeriksa dan semuanya fungsional, biar hasilnya bagus," kata Darmin.
Ada tiga cara untuk mencari pemeriksa. Pertama, menawarkan kepada pegawai pajak, terutama yang berlatar belakang sarjana akuntansi untuk menjadi pemeriksa. Kedua, membuka lowongan baru, untuk selanjutnya mengikuti pendidikan. Dan ketiga, meminjam auditor dari instansi lain. Seperti misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan minta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membantu pajak.
Selain menambah jumlah, gaji pemeriksa pajak juga bakal naik. Sebab, gaji pegawai pajak saat ini terlalu kecil. Untuk itu, DPR mengusulkan agar Menkeu meninjau anggaran pajak yang cuma Rp 1,7 triliun tahun ini. Padahal, Bank Indonesia yang karyawannya 5.000, butuh anggaran Rp 5 triliun. Syamsul Ashar
Sumber : Harian Kontan, 31 Mei 2007

STRATEGI PAJAK UNTUK MENCIPTAKAN IKLIM INVESTASI YANG KONDUSIF

STRATEGI PAJAK UNTUK MENCIPTAKAN IKLIM INVESTASI YANG KONDUSIF
INSENTIF PAJAK BERDASARKAN UU YG BERLAKU
1. WP yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerah tertentu, dapat diberikan fasilitas:
a. Pengurangan Penghasilan Netto sebesar 30% untuk selama 6 tahun (@ 5%).
b. Penyusutan & Amortisasi dipercepat.
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun.
d. PPh dividen 10% atau sesuai tax treaty.
2. Sumbangan untuk korban bencana di NAD dan Sumatera Utara (Nias) dapat dibiayakan.
3. Penyerahan dan impor produk strategis tidak dikenakan PPN.
4. PPN tidak dipungut atas penyerahan di Bounded Area; di Kawasan Berikat Pulau Batam; dan impor barang yang memperoleh fasilitas untuk tujuan ekspor.
5. PPN dibebaskan atas impor barang modal KPS.
6. PPN dibebaskan atas avtur untuk penerbangan internasional.
7. Bebas pajak (PPN, PPn BM, PPh Pasal 22) untuk proyek pembangunan Pulau Bintan dan kawasan pendukung sekitarnya.
8. Percepatan restitusi untuk WP Patuh. Dari semula 1 tahun menjadi 1 minggu
INSENTIF PAJAK BERDASARKAN RUU
1. Tarif PPh Turun :
a. PPh OP dari 35% menjadi 30%
PPh Badan dari 30% menj. 25%
b. PPh dividen OP dr. 35% menj. 15%;
2. Objek Pajak yang dibebaskan: beasiswa dan sisa lebih lembaga pendidikan;
3. Sumbangan yang dapat dibiayakan:
a. Bencana alam,
b. R & D,
c. Pendidikan,
d. Bea Siswa,
e. Infrastruktur,
f. Sosial.
4. WP go publik yg diaudit KAP, hanya dikoreksi fiskal.
5. Tidak semua SPT Lebih Bayar (SPTLB) diperiksa (Restitusi dipercepat):
a. semula hanya WP Patuh menjadi WP Patuh & WP Tertentu
b. semula 1 tahun menjadi 1 minggu
o Daluwarsa:
a. Penetapan 10 th menj. 5 th,
b. Penagihan 10 th menj. 5 th, stl. penetapan.
o Jatuh tempo SPT Tahunan diperpanjang, semula 31 Maret menjadi 30 April.
o Turis asing yang belanja dapat restitusi.
o Produk pertanian Non BKP, contoh: coklat, cacao, kopi, teh, karet, damar, kopra, kapas, kapuk, buah-buahan, juga hewan ternak sapi, ikan, dll.
o Produk pertambangan di-BKP-kan sehingga bisa restitusi;
o Ekspor jasa kena PPN 0%.
o Petugas pajak yang menyalahgunakan wewenang dihukum;
o Komisi Pengawas Perpajakan dibentuk.
o Hasil pemeriksaan tanpa closing conference diangap tidak sah, jadi WP menang.
o PTKP dinaikkan dari Rp 2.880.000 menjadi Rp 13.200.000.
REFORMASI ADMINISTRASI PERPAJAKAN
1. Peningkatan Pelayanan terhadap Wajib Pajak:
o Implementasi dan Pembentukan Sistem Administrasi Pajak Modern (KPP Modern: LTO, MTO dan STO);
o Perluasan WP Patuh ditambah dengan WP tertentu (untuk percepatan pemberian restitusi);
2. Implementasi Praktek Good Governance:
o Pembentukan Pusat Data Pajak dan e-system;
o Pembentukan dan Implementasi Manajemen SDM Modern (AR, case manajemen);
o Pemeriksaan dengan korespondensi.
3. Karakteristik, Keunggulan dan Skedule/ Jadwal.
4. Evaluasi: Laporan A.C. Nielsen.

ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN “UPLIFT” DI INDONESIA TERKAIT DENGAN SENGKETA PAJAK MIGAS ANTARA PIHAK DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PADA KPP BANDORA II

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................................iii
HALAMAN MOTTO .....................................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................................v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................vii
ABSTRAKSI .................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................9
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................................10
E. Metodologi Penelitian ..................................................................................................22
BAB II. TINJAUAN UMUM PAJAK “UPLIFT”
A. Tinjauan Umum Perpajakan
A.1. Sejarah Perpajakan Di Indonesia...............................................................................27
A.2. Pengertian Pajak........................................................................................................31
A.3. Konsep Dasar Hukum Perpajakan Indonesia............................................................35
A.4. Konsep Islam tentang Zakat dan Pajak......................................................................36
A.5. Fungsi Sistem Pemungutan Pajak Menurut UU Pajak Nasional...............................38
A.6. Teori dan Asas-asas Pemungutan Pajak....................................................................39
A.7. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa........................................................................43
B. Pengertian Pajak “UPLIFT”
B.1. UPLIFT dalam Aspek Kontraktual............................................................................45
B.2. UPLIFT Dalam Aspek Oprasional.............................................................................46
B.3. UPLIFT Dalam Aspek Hukum..................................................................................48
C. Peranan Peradilan TUN dalam Sengketa TUN
C.1. Arti Istilah Hukum Tata Usaha Negara......................................................................49
C.2. Asas –Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam PTUN..................................51
C.3. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara........................................................................55
C.4. Kompetensi Atau Kewenangan PTUN......................................................................56
C.5. Arti Pentingnya Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia.....................................58
C.6. Ketetapan dan Pokok Pangkal Sengketa TUN..........................................................59
C.7. Kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah......................................62
C.8. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN............................................................................64
D. Peranan Peradilan Administrasi dalam Sengketa Pajak
D.1. Unsur-Unsur Peradilan Pajak....................................................................................68
D.2. Pemasukan Surat Keberatan .....................................................................................69
D.3. Isi Surat Keberatan ...................................................................................................70
D.4. Keputusan Atas Surat Keberatan .............................................................................72



BAB III. ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN PUTUSAN “UPLIFT” DI INDONESIA TERKAIT DENGAN SENGKETA PAJAK MIGAS ANTARA PIHAK DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PADA KPP BANDORA II DENGAN SEAUNION ENERGY LIMAU LTD.
A. Pertimbangan Filosofis Dan Yuridis Dimasukannya Uplift
Sebagai Obyek Pajak PPh
A.1. Pertimbangan Filosofis Penetapan Uplift Sebagai Obyek Pajak...............................74
A.2. Pertimbangan Yuridis Penetapan Uplift Sebagai Obyek Pajak ................................82
B. Keputusan PTUN Terhadap Sengketa Pajak Antara KPP Bandora Dua
Dengan Seaunion Energy Limau Ltd
B.1. Para Pihak Dan Duduk Perkara................................................................................ 96
B.2. Dasar Gugatan Penggugat.........................................................................................98
B.3. Dalam Eksepsi Kompetensi Absolut.......................................................................103
B.4. Alat-Alat Bukti .......................................................................................................105
B.5. Isi Putusan...............................................................................................................105
B.6. Inti Pertimbangan Putusan......................................................................................106
B.7. Analisa Putusan PTUN...........................................................................................107
BAB IV. PENUTUP :
A. Kesimpulan
A.1.Pertimbangan Filosofis dan Yuridis Dimasukannya Uplift
Sebagai Obyek Pajak PPh.............................................................................................112
A.2. Penetapan Putusan PTUN Atas Sengketa Pajak KPP Bandora Dua Dengan Seaunion Energy Limau Ltd..........................................................................................................116
B. Saran .......................................................................................................................118
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................119
LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Industri perminyakan di Indonesia dimulai sejak tahun 1871 dengan dimulainya kegiatan pengeboran di Desa Maja, Cirebon. Kemudian pada tahun 1885 sumur pertama di Telaga Said Sumatera Utara mulai berproduksi. Kegiatan Industri perminyakan di Indonesia masih berlangsung sampai dengan sekarang.
Selama periode tersebut Industri perminyakan di Indonesia mengalami pasang surut yang cukup tajam antara lain karena adanya faktor politik dan ekonomi global seperti, Embargo minyak Irak, krisis moneter dan faktor politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri, contohnya terjadi peperangan, pemberontakan, gangguan keamanan, birokratisasi, biaya ekonomi tinggi, krisis moneter dan krisis multidimensional yang berkepanjangan serta belum adanya kepastian Hukum.
Perkembangan Industri perminyakan di Indonesia dimulai dari bentuk konsesi, kontrak karya, Production Sharing Contract generasi pertama, kedua dan ketiga, Tehnical Assistance Contract (TAC) dan Enhanced Oil Recovery (JOB). Perkembangan tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah untuk meningkatkan pandapatan negara dari hasil produksi minyak dan gas, perubahan sistem perpajakan dan keinginan PERTAMINA untuk menambah produksi Own Operation dengan ikut aktif berpartisipasi dalam sektor kegiatan Production Sharing Contract.
Industri perminyakan yang mempunyai karakteristik High Cost, High Risk Technology, dan harus dikelola oleh tenaga-tenaga Ahli dibidang minyak dan gas bumi. Sesuai dengan Undang-Undang no. 44 Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan Undang- Undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, pengusahaan minyak dan gas bumi dapat dikerjasamakan dengan kontraktor dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract).
Masalah utama dalam kontrak bagi hasil ditinjau dari kepentingan Nasional adalah bagaimana mengoptimalkan sumbangan pengusahaan sumber daya minyak dan gas bumi bagi perekonomian Negara, pemerataan kesempatan kerja, menciptakan peluang bagi perusahaan Swasta Nasional untuk berpartisipasi serta terjaminnya suplai BBM dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan kepentingan Investor Asing dan pengusaha Swasta Nasional untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kondisi kontrak bagi hasil, khusunya JOB EOR Contract saat ini kurang menguntungkan bagi kontraktor, mengingat kontraktor sebagai full risk party, dengan menyediakan seluruh dana operasional perminyakan EOR termasuk penyediaan dana kewajiban PERTAMINA’s participating Interest Share 50% dan menanggung seluruh resiko kegagalan Enhanced Oil Recovery Operation. Sedangkan PERTAMINA sebagai Non Risk Party tidak menanggung sama sekali atas segala resiko biaya dan kegagalan Enhanced Oil Recovery Operation.
Bilamana gagal memproduksi minyak Incremental Oil secara komersial, kontraktor tidak dapat merecover seluruh biaya operating costs termasuk dana talangan yang diberikan untuk memenuhi kewajiban PERTAMINA’s participating Interest Share 50% dalam ikut pembiayaan Enhanced Oil Recovery Operation. PERTAMINA dalam hal ini dibebaskan dari segala kewajibannya untuk mengembalikan dana talangan yang telah dikeluarkan kontraktor untuk memenuhi kewajiban PERTAMINA’s Participating Interest Share 50%.
Sebaliknya jika Enhanced Oil Recovery Operation berhasil memproduksikan Incremental Oil secara komersial maka pembagian hasil produksi yang diterima oleh kontraktor jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan bagian yang diperoleh PERTAMINA dengan margin keuntungan kontraktor antara 1,50 % sampai dengan 11,63 % yang realisasinya berkisar antara 7 % sampai dengan 8 %. Disamping itu produksi Primary Oil dan Natural Gas selurunya menjadi bagian PERTAMINA tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.1
Dengan adanya realitas kondisi ketidakadilan terhadap kebijakan yang semacam itulah, kemudian terjadi pengajuan gugatan oleh salah satu perusahaan Migas, yaitu Seaunion Limau. Ltd kepada kantor pelayanan pajak (KPP) Badan dan Orang Asing II, yang beralamat di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Perusahaan tersebut menggugat tagihan pajak yang dikeluarkan kantor pelayanan pajak tersebut kepengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.2
Selisih bermula ketika, pada 2 Juli 2004 KPP badan dan orang asing II menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) atas pajak penghasilan (PPh) badan untuk tahun 2001 dan 2002 atas Uplift yang telah diterima oleh Seaunion Energy Limau. Ltd. Dan pada tanggal 16 September 2004, datanglah Surat Teguran kepada pihak Seaunion untuk melunasi pembayaran pajak tersebut. Teguran tersebut dibalas dengan bentuk Surat Keberatan kepada Direkturat Jenderal pajak. Menurut pihak Seaunion Energy Limau.Ltd dalam hal ini sebagai penggugat, menyatakan bahwa Uplif bukanlah komponen pendapatan. Akibat pengajuan Surat Keberatan, kemudian pihak KPP Badan dan orang Asing II menerbitkan Surat Paksa dan memerintahkan juru sita menyita beberapa barang Seaunion Limau Ltd, juga memerintahkan JP.Morgan Chese Bank memblokir rekening Bank Seaunion Limau Ltd. Puncaknya pada tanggal 13 Januari 2005 mereka menerbitkan 14 Surat SKPKB Pajak Penghasilan bagi masing-masing Badan untuk tagihan sepanjang tujuh tahun, terhitung sejak 1995 sampai dengan 2003.3
Berkaitan dengan keputusan KPP Badan dan Orang asing II, kemudian kontraktor dari Amerika Serikat tersebut, menolak membayar tagihan yang berbentuk SKPKB senilai US$ 5,2 juta plus bunga sehingga menjadi US$ 6,91 juta. Penagihan pajak tersebut dikenakan pada Uplift, yang merupakan bagian dari produksi Minyak yang diperoleh, tetapi menurut kontraktor dari USA adalah bukan pendapatan.4
Kemudian pada akhir –akhir ini terjadi berbagai interpretasi yang simpang siur terhadap pengertian, maksud dan tujuan dari Uplift. Oleh karena itu diharapkan dalam setiap kajian kebijakan tentang Uplift haruslah kompetitif dan korporatif, paling tidak hal ini dapat menjaga iklim Investasi tetap menarik dan kompetitif. tentunya didalam Investasi disektor Migas. Kebijakan pajak Uplift atau kompensasi akumulasi resiko modal yang dikenakan pada kontrak joint operating body (JOB) antara investor migas dengan pertamina dalam eksplorasi minyak bumi perlu ditinjau ulang.5 hal itu harus dikaji kebijaksanaan yang muncul dari kontrak JOB tersebut sehingga bersifat kompetitif dan menjaga harmoni serta tidak menghancurkan tatanan yang sudah ada. Hal ini di ungkapkan oleh praktisi perminyakan, Khaidir Riswan.6
Saat ini sekurangnya- kurangnya ada 11 kontraktor migas mitra Pertamina yang selama ini ditagih pajak Uplift. Mereka itu antara lain Talisman Energy, Husky Energy dan Petro Cina. Karena masih menjadi perdebatan tentang Uplift tersebut, yaitu antara perusahaan-perusahaan kontraktor minyak asing dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak, sebelum akhirnya muncul keputusan PTUN Jakarta. Kabarnya Petro Cina telah membayar sedikitnya lima juta dolar AS untuk obyek pajak Uplift. Sepanjang perjalanan eksploitasi minyak di Tanah Air, investor (asing maupun domestik) yang bekerja sama dengan Pertamina dalam mengembangkan sektor hulu migas di Indonesia dibuat antara lain dalam bentuk Production Sharing Contract (PSC). Beberapa kontrak yang termasuk dalam PSC adalah Joint Operating Body-EOR (JOB-EOR), Joint Operating Agreement (JOA), dan Technical Assistance Contract (TAC).7
Maksud dan tujuan Uplift pada dasarnya adalah sebagai kompensasi atas sebagian dana talangan untuk Petroleum Operation- EOR yang dikeluarkan oleh Investor. yang mana seharusnya dikeluarkan oleh pihak PERTAMINA, seperti yang tertulis dalam kontrak JOB-EOR Participating Interest Investors dan PERTAMINA adalah 50 %- 50 %. Akan tetapi dalam kenyataannya, seluruh biaya operasi seluruhnya dikeluarkan oleh pihak Investor.8Dari sini setidaknya ada beberapa resiko yang harus diterima oleh investor ketika menggarap lahan. Pertama, resiko eksplorasi penemuan cadangan baru. Kedua, resiko pengembangan produksi berupa bagi hasil. Ketiga, resiko finansial dan keempat, resiko yang berupa stabilitas politik.9
Dalam perkembangannya, beberapa Kalangan perminyakan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pajak atas kompensasi modal eksplorasi Uplift disektor migas menyusul belum adanya skema perundang-undangan berlaku yang mengatur hal tersebut diatas. Dalam hal ini harus adanya peninjauan ulang untuk memperjelas pengenaan pajak atas Uplift terutama pada kontrak Joint Operating Body (JOB) antara PERTAMINA dengan perusahaan-perusahaan Migas yang lain.
Lebih lanjut dikatakan oleh salah satu pakar perminyakan Khaidir Riswan, bahwa Pemerintah mulai memperhitungkan pajak atas Uplift sejak 2003. sehingga dalam hal ini Pemerintah akan menjadikan Uplift sejajar sebagai obyek kena Pajak yang harus dibayarkan Investor kepada Pemerintah. Padahal kebijakan perundang-undangan belum mengatur tentang hal tersebut, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang bisa mengurangi minat Investor untuk berinvestasi disektor Migas untuk kontrak JOB dengan PERTAMINA.10 Sehingga masih menjadi perdebatan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Hemat Minyak dan Energi (YAHIME), yaitu adalah apakah Uplift merupakan jenis pendapatan atas usaha yang dilakukan JOB sehingga Uplift dijadikan sebagai obyek pajak.11
Pengenaan pajak atas Uplift (Minyak mentah yang diangkat untuk di jual) disektor migas dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tindakan itu juga berakibat Ekonomi biaya tinggi, tidak kondusifnya iklim usaha dan bermuara pada terjadinya capital flight (larinya modal Asing dari dalam keluar negeri).12 apalagi ditambah dengan permasalahan yang baru-baru ini muncul, yaitu terkait dengan RUU Perpajakan. Kontroversi pengundangan RUU Perpajakan dinilai juga akan menimbulkan hambatan dalam hal investasi. Kalangan pengusaha menilai rancangan Undang-undang perpajakan yang diusulkan oleh pemerintah sangat tidak bersahabat dengan dunia usaha, karena itu reformasi perpajakan yang bertujuan menarik investasi lebih banyak justru menjadi penghambat bertambahnya investasi dalam negeri dan luar negeri.13
Terkait juga dengan Industri sektor hulu migas di Indonesia diperkirakan telah berusia 100 tahun lebih sehingga fraksi migas yang telah diproduksikan terhadap sisa cadangan terambil (Remaining recoverable reserves) yang ada sangat signifikan. Dengan kata lain, sukses industri ini mungkin makin kecil baik berupa penemuan cadangan baru maupun produksi hasil Enhanced Oil Recovery (EOR).14 Oleh karena itu pemerintah didesak oleh berbagai kalangan pengusaha, supaya mempertegas kebijakan pajak atas Uplift yang diterapkan pada perusahaan minyak swasta asing.15
Latar belakang masalah yang demikian inilah, menarik penulis untuk meneliti yang kemudian akan dirumuskan dalam bentuk Penelitian penulisan Skripsi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. yang terkait dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini adalah KPP Bandora II, mengelurkan ketetapan pajak atas Uplift kepada salah satu perusahaan Migas dari Amerika Serikat (Seaunion Energy Limau Ltd). Setidaknya dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan refferrensial penelitian ilmiah bagi persoalan Hukum Perpajakan dan Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia terutama terkait kasus-kasus Pajak Minyak Bumi dan Gas (MIGAS).
B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar pertimbangan Filosofis dan Yuridis dimasukkannya Uplift sebagai obyek Pajak menurut UU No. 17/2000 tentang pajak penghasilan oleh KPP Bandora II kepada Seaunion Energy Limau Ltd ?
2. Apakah putusan sengketa pajak migas antara pihak Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora II dengan Seaunion Energy Limau. Ltd yang diputus oleh PTUN Jakarta sudah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Hukum
1. Untuk mengetahui, menganalisis, menyimpulkan dasar pertimbangan Filosofis dan Yuridis dimasukannya Uplift sebagai obyek Pajak menurut UU No. 17/2000 tentang pajak penghasilan oleh KPP Bandora II kepada Seaunion Energy Limau Ltd ?.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan sengketa pajak migas antara pihak Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora II dengan Seaunion Energy Limau. Ltd yang dilakukan oleh PTUN Jakarta sudah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia?
D. Tinjauan Pustaka
Negara dan Keadilan Hukum
Dari sejarah pemikiran mengenai hukum, kita mendapatkan suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari dalam hubungan antar manusia dan hukum dalam segala zaman dan disegala tempat, yaitu bahwa manusia selalu hadir bersama hukum konsekuensinya adalah kita tidak dapat membayangkan hadirnya manusia tanpa hukum.16 salah satu pokok persoalan negara hukum adalah persoalan kekuasaan, khususnya persoalan kewenangan atau wewenang.17
Negara yang berdasarkan atas hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah yang demokratis, didasarkan atas kehendak rakyat sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap hukum, yakni keadilan.18 Menurut Hans Kelsen, yang merupakan salah seorang figur utama bagi ajaran hukum murni menegaskan bahwa pengertian hukum harus dibedakan dari pengertian keadilan. Dan jawaban bagi pertanyaan mengenai daya laku dari hukum sehingga kaidah-kaidahnya harus dilaksanakan dan dipatuhi, sangat tergantung dari hubungan yang ditetapkan antara hukum dan keadilan tersebut.19
Suatu negara yang menyatakan sebagai negara hukum, dapat dengan mudah tergelincir menjadi negara diktator atau negara pejabat. Karena meskipun dalam negara tersebut berlaku hukum dan pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan hukum, tetapi hukum yang berlaku dinegara tersebut adalah hukum yang dibuat oleh dan untuk kepentingan penguasa negara itu.20
Dalam piagam madinah, keadilan merupakan prinsip yang mendapat posisi penting didalam piagam tersebut, yang mana prinsip keadilan dinyatakan secara tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara madinah. Dalam pasal 2-10 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin harus berlaku adil dalam membayar diat dan menebus tawanan.21 Esensi ketetapan pasal-pasal tersebut agar permusuhan dan dendam tidak berkelanjutan diantara pihak-pihak yang bersengketa.22
Hukum tidaklah lepas dari kehidupan manusia. Maka untuk membicarakan hukum kita tidak dapat lepas membicarakannya dari kehidupan manusia. Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kepentingannya adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan.23 Mengingat banyaknya kepentingan tidak mustahil terjadi konflik atau benturan antar sesama pemegang kepentingan tersebut, karena kepentingannya saling bertentangan. Konflik kepentingan itu terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya seseorang merugikan pihak lain. Didalam kehidupan bersama atau kehidupan bermasyarakat, konfilk itu potensi untuk menimbulkan ketidakharmonisan.
Gangguan kepentingan atau konflik haruslah dicegah atau tidak dibiarkan berlangsung terus, karena akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Manusia akan selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan seimbang, karena keadaan seimbang akan menciptakan suasana yang tertib, damai dan aman, yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dipulihkan kedalam keadaan semula (restitution in integrum = kembali keadaan semula).24
Tidak hanya konflik yang terjadi antar sesama masyarakat saja yang harus kita kembalikan normal sehingga tercipta suatu keseimbangan. Tapi juga konflik yang terjadi antara masyarakat atau badan hukum perdata dengan pemerintah, hal ini terjadi diakibatkan oleh kepentingan- kepentingan melalui kebijakan-kebijakannya dari penyelenggara pemerintahan yang tidak akomodatif terhadap kepentingan masyarakatnya. Permasalahan terjadi diakibatkan peran negara dalam menjalankan fungsi dan tujuannya ada kecenderungan yang kontradiktif dengan kepentingan masyarakatnya, sehingga tidak menutup kemungkinan konflik akan sering terjadi.
Oleh karena itu Menurut Aristoteles, dalam buku karya ciptanya Politica, Suatu Negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; Kedua, Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan dan tekanan konstitusi.25
Tentunya dalam kenyataannya suatu negara mempunyai beberapa tugas, dalam mengimplementasikan tugasnya suatu negara harus mempunyai pedoman dan aturan. yaitu dari sebuah konstitusi yang baik dan demokratis. Menurut Prestus, tugas negara itu meliputi dua hal ; policy making, yaitu penentu haluan negara, dan task executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. Pembagian ini sama dengan yang dilakukan oleh E. Utrecht, yang mengikuti AM. Donner, yaitu pertama, berupa lapangan yang menentukan tujuan atau tugas, dan yang kedua, lapangan merealisasikan tujuan atau tugas yang telah ditentukan tersebut.26
Dalam konteks perpajakan diIndonesia sudah ada beberapa upaya untuk memberikan warna demokrasi dalam sistem perpajakan nasional, seperti misalnya keluarnya peraturan tentang pajak dan desentralisasi fiskal, dimana publik wajib pajak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses pemanfaatan pajak. Kalau berbicara Demokrasi maka pada dasarnya adalah pengelolaan konflik melalui pemberlakuaan peraturan secara fair, artinya peraturan itu diberlakukan kepada siapa saja tanpa diskriminasi.27
Demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Prinsip yang paling urgent adalah meletakan kekuasaan ditangan rakyat bukan ditangan penguasa.28
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Penyelesaian Sengketa TUN dan Sengketa Pajak.
Dalam arti sempit, Peradilan tata usaha negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara yang murni. Pengertian tata usaha negara murni adalah suatu perkara yang tidak mengandung “pelanggaran hukum” pidana ataupun perdata, melainkan suatu persengketaan yang berpangkal atau berkisar pada atau yang mengenai interprestasi dari suatu pasal atau ketentuan undang-undang dalam arti luas melalui hakim, jaksa dan pengacara serta masyarakat pada umumnya berpegang pada interprestasi yuridis, artinya : pengertian yang tidak melawan hukum (interprestasi obyektif).
Administrasi negara memandang Undang-undang itu sebagai “rumusan” dari kehendak-kehendak negara yang wajib dipenuhi atau direalisasikan oleh administrasi negara. Banyak konflik timbul disebabkan oleh cara-cara yang dipakai para pejabat administrasi negara untuk menyelenggarakan kehendak-kehendak negara tersebut, yang kadang-kadang dianggap melawan hukum atau melanggar tata kesopanan. Bilamana hal ini dapat dibuktikan, maka perkarannya dapat dijadikan “perkara perdata” dan dilakukan gugatan sebagai “on rechmatige overheiddsaad”ex. Pasal 1365 KUH Perdata.
Sehingga pangkal sengketa tata usaha negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolok ukur sengketa tata usaha negara. Tolok ukur sengketa tata usaha negara (administrasi) adalah tolok ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolok ukur subjek adalah para pihak yang bersengketa dibidang Administrasi negara (tata usaha negara). Sedangkan tolok ukur pangkal sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.
Mengenai pangkal sengketa ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara Administrasi negara terjadi dalam lingkungan administrasi (TUN) itu sendiri. Baik yang terjadi dalam satu departemen (Instansi), maupun sengketa yang terjadi antar departemen. dengan demikian sengketa Intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen atau kewenangan suatu departemen terhadap instansi departemen yang lainnya, yang disebabkan tumpang tindih kewenangannya. Sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang.
Sengketa Ekstern atau sengketa antara Administrasi negara dengan rakyat adalah perkara Administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek berperkara, ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara.
Dalam hal ini UU PTUN No. 5 tahun 1986 melalui perubahannya yaitu UU No.9 tahun 2004 tentang peradilan Tata Usaha Negara hanya mengatur sengketa ekstern saja. Dan perbuatan atau tindakan badan atau pejabat TUN yang menjadi kompetensi PTUN adalah yang menyangkut perbuatan atau tindakan mengeluarkan keputusan. Hal tersebut dapat diketahui dari bunyi pasal 1 angka 4 UU peratun yang menyebutkan sebagai berikut :
“sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan pangkal sengketa TUN sendiri adalah akibat dikeluarkannya KTUN, berdasarkan pasal 1 angka 3 UU peratun yang dimaksud dengan KTUN adalah :
“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
Keputusan Administrasi negara merupakan suatu pengertian yang sangat umum dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk keputusan-keputusan yang sangat berbeda. Namun demikian keputusan-keputusan administrasi juga mengandung ciri-ciri yang sama, karena akhirnya dalam teori hanya ada satu pengertian yaitu “Keputusan Administrasi” adalah penting untuk mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian keputusan administrasi, karena perlu untuk dapat mengenal dalam praktek keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan tertentu sebagai keputusan administratif. Dan hal itu diperlukan karena hukum positif mengikatkan akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan tersebut, misalnya suatu penyelesaian hukum melalui hakim tertentu. Sifat norma hukum keputusan adalah individual – konkrit. Dan sifat norma hukum dapat digambarkan dalam segi empat sebagai berikut;
1. Norma hukum abstrak misalnya undang-undang;
2. Norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha negara;
3. Norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang pada suatu tempat tertentu (rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya berlaku untuk tempat itu);
4. Norma individual abstrak misalnya izin gangguan.
Keputusan administrasi negara adalah berupa tindakan hukum TUN. Yang mana istilah tindakan TUN (administratieve rechtshandeling) itu berasal dari dogmatik hukum perdata yang artinya “suatu tindakan hukum menurut hukum perdata adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum” tindakan hukum TUN itu hanya dapat dilakukan dalam hal atau keadaan- keadaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam dan dimungkinkan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Suatu tindakan TUN itu dapat mengikat warga masyarakat sekalipun yang bersangkutan itu tidak menginginkanya.
Tindakan atau perbuatan administrasi negara (TUN) dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil. Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat tata usaha negara tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut.
Dengan demikian, KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Apakah KTUN itu? Sebagaiman dalam Pasal 1 angka 3 yang merumuskan KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata rumusan pasal 1 angka 3 mengandung elemen-elemen utama sebagai berikut ;
1. penetapan tertulis;
2. (Oleh) Badan atau pejabat tata usaha negara;
3. tindakan hukum tata usaha negara;
4. konkret, individual;
5. final;
6. akibat hukum bagi seseorang;
keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara (dalam arti besschikking) harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari keputusan tersebut. Pasal 53 ayat 2 sub a dari undang-undang no 5 tahun 1986 menentukan bahwa salah satu dasar pengujian (toetsinggrond) yang dapat digunakan oleh seorang atau badan hukum perdata untuk menggugat badan atau pejabat tata usaha negara dihadapan hakim pengadilan tata usaha negara adalah manakala keputusan (beschikking) yang dikeluarkan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Oleh karena itu untuk dapat mengetahui apakah persoalan yang terjadi tersebut masuk kompetensi wilayah hukum administrasi atau bukan, maka dapat dilihat dari pokok-pokok persoalannya. Ada beberapa cara untuk dapat mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara ; pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau attributie van rechtmacht), ketiga dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Dalam hal ini apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan Administrasi negara (hakim PTUN).
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut diatas terdapat dalam pasal 77 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatanya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
3. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.
Dalam disertasinya Prof. Rocmat Soemitro membentangkan dengan panjang lebar pendapatnya (yang menerangkan das sein dan das sollen) mengenai peradilan administrasi pada umumnya, dan dalam bidang pajak pada khususnya. Kesimpulannya Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sajalah yang dapat dimasukan kedalam kategori peradilan administrasi negara yang murni dalam bidang pajak. Dengan persyaratan-persyaratannya adalah sebagai berikut :
a. yang umum (sebagai suatu instansi peradilan ) :
- adanya suatu peraturan hukum yang abstrak yang mengikat umum dan merupakan peraturan umum yang harus ditaati. Peraturan itu dapat tertulis ataupun tidak.
- Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret.
- Adanya sekurang-kurangnya dua pihak (yang berlawanan).
- Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang dalam memutuskan perselisihan. Aparatur tersebut dapat berbentuk :
- Peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri)
- Peradilan tingkat banding (pengadilan tinggi)
- Peradilan tertinggi (Mahkamah Agung).
b. yang khusus (sebagai suatu instansi peradilan administrasi negara, dalam bidang pajak)
- Salah satu pihak merupakan bagian dari administrasi negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.
- Hukum yang diterapkan harus bersifat “hukum publik” (termasuk hukum administrasi negara).
Ditambahkan pula dalam uraian sebagai berikut : dimana lazimnya yang mengadakan peradilan ialah badan peradilan umum seperti : pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung maka untuk peradilan administrasi terlihat disini diadakannya suatu badan tertentu yang berdiri sendiri untuk mengadakan peradilan tersebut, dengan syarat telah dipenuhi pula, bahwa badan peradilan ini berdiri sendiri dan tidak ada didalam atau dibawah pengaruh salah satu pihak yang berselisih.
Dalam konteks permasalahan peradilan Administrasi dibidang pajak tentunya harus melihat unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang peradilan administrasi pajak ialah sifat dan pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Disini yang menjadi pihak adalah pemerintah, khusus dalam kualitasnya sebagai pemungut pajak (fiskus)dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.
E. Metode Penelitian
Didalam penyusunan penelitian Study kasus Hukum ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Obyek Penelitian
1. Dasar pertimbangan Filosofis dan Yuridis dimasukannya Uplift sebagai obyek Pajak dalam Undang-undang pajak penghasilan (PPh)UU No. 17/2000 oleh KPP Bandora II.
2. Penetapan putusan sengketa pajak Migas oleh PTUN Jakarta antara pihak Direktorat Jenderal pajak pada KPP Bandora II dan Seaunion Energy Limau Ltd. Apakah sudah sesuai dengan Undang-undang PTUN yang berlaku di Indonesia. (Study kasus pada pengadilan TUN Jakarta)
2. Sumber Data
Ialah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang terdiri atas bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier :
(a). Bahan Hukum Primer yang berupa peraturan perundang-undangan.
1. UUD 1945 pasal 33
2. Undang-Undang No 44 tahun 1960 entang pertambangan migas
3. Undang –Undang No 8 tahun 1971 tentang PERTAMINA
4. Undang –Undang No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang No 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 3 huruf C.
5. Peraturan Pemerintah No 35 tahun 1994 tentang syarat –syarat dan pedoman kerja kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi.
6. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No : 267/KMK.012/1978 tanggal 19 juli 1978 tentang tata cara perhitungan dan pembayaran pajak perseroan dan pajak atas bunga deviden dan royalty yang terhutang oleh kontraktor yang melakukan kontrak prodution sharing (kontrak bagi hasil) dibidang minyak dan gas bumi dengan PERTAMINA.
7. Surat keputusan Menteri Keuangan RI No : 458/KMK.012/1984 tanggal 21 mei 1984 tentang tata cara perhitungan dan pembayaran pajak yang terhutang oleh kontraktor yang mengadakan kontrak –kontrak production sharing dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dengan PERTAMINA.
8. Surat Keputusan Menteri Keuangan No : 5-01/WPJ.07/KP.1004/2005 perihal permintaan pemblokiran kekayaan pengguna pajak yang tersimpan pada JP. Morgan Chase Bank atas nama Seaunion Energy Limau Ltd.
9. Surat Keputusan Menteri Keuangan No : 236 /KWK.03/2005 tentang penetapan pencegahan penanggung pajak bepergian keluar negeri atas nama Anthony Paul Diemert dan Chew Sin Hwa.
10. Surat Direktorat Jenderal Pajak No :5- 471/PJ.471/ 1990 tanggal 16 juli 1990 yang menyatakan bahwa pemeriksaan pajak terhadap kontyraktor bagi hasil dibidang minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh BPKP meliputi PPh pasal 21, 23, 25, 26, 29 dan PPN.
11. Surat Direktort Jenderal Pajak No : 5-156/PJ /2005 tanggal 14 juli 2005 perihal perlakuan pajak perseroan atau pajak penghasilan atas Uplift.
12. SKPKB pajak penghasilan pasal 26 ayat 4, mengenai SKPKB pajak penghasilan badan yang telah dikeluarkan oleh KPP BANDORA II untuk Seaunion Energy Limau Ltd.
(b). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, meliputi rancangan peraturan-peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian, jurnal hukum, artikel, serta makalah-makalah. Yang berkaitan dengan materi masalah yang akan diteliti.
(c). Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang meliputi kamus-kamus dan Ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data Sekunder.
Dilakukan dengan cara :
1. Study kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan study terhadap dokumen-dokumen atau bahan pustaka. Dengan pendekatan masalah yang hanya bersifat yuridis atau normatif. Metode yang digunakan misalnya melakukan pengamatan terhadap Buku-buku, kepustakaan, dokumen-dokumen, surat-surat penting, surat-surat resmi, majalah, surat kabar, bulettin, dsb.
2. Studi Dokumentasi yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi Institusional yang berupa putusan pengadilan, risalah sidang, dll yang berhubungan dengan masalah penelitian.
4. Metode Pendekatan.
Metode pendekatan yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis, yaitu suatu pendekatan yang mencoba memahami dan memecahkan suatu persoalan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Metode ini diperlukan mengingat salah satu masalah yang diangkat dalam penelitian ini memerlukan kajian yang mendalam. Disamping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian ini dikenal juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yang menganalisis baik hukum sebagai law as it is written in the books, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif merujuk baik pada hukum positif di dalam peraturan perundang-undangan nasional dan negara lain. Penelitian hukum normatif merujuk pada sumber hukum kedua yaitu putusan hakim in concreto atau judge made law.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Data –data yang diperoleh dari penelitian dianalisa secara deskriptif kualitatif. Data diatur dan disusun secara sistematis agar menjadi suatu kesatuan peristiwa yang utuh, sehingga dapat dipelajari secara mendalam. Hasil analisis data tersebut merupakan gambaran dan penjelasan yang sistematis tentang data atau informasi tentang subjek penelitian. Selanjutnya hasil analisis data akan merupakan kesimpulan yang mendalam, yang dapat diuraikan tentang objek penelitian.


BAB II
TINJAUAN UMUM PAJAK “UPLIFT”

A. Tinjauan Umum Perpajakan
A.1. Sejarah Pemungutan Pajak Di Indonesia
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak bukanlah sebuah pungutan tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada Raja dalam pemeliharaan kepentingan kerajaan atau negara (upeti).1
Dalam sejarah, Pajak muncul dari kebutuhan akan perlunya sumber dana yang terjamin untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan atau kenegaraan. Sumber itu, jelas tidak bisa diandalkan dari bentuk-bentuk usaha yang diupayakan oleh pemerintah atau negara sendiri. Sehingga, sumber itu harus berasal dari luar pemerintahan atau negara. Maka, rakyatlah yang akhirnya menjadi tumpuan. Di zaman feodalisme dan penjajahan, sekalipun prakteknya berbagai pungutan (yang waktu itu disebut dengan upeti) ini lebih termanfaatkan untuk kepentingan pribadi Raja atau keluarganya, pada prakteknya ia tetap digunakan untuk membiayai roda pemerintahan atau bahkan kelanggengan dinasti kerajaan. Apa pun bentuk pemerintahan dan ideologi yang diusungnya. Maka, kita bisa memaklumi bagaimana istilah upeti sangat identik dengan kekejaman, pemaksaaan, perampokan dan bahkan pembunuhan.
Di era modern, kebutuhan itu tidak berubah, bahkan makin tumbuh menjadi besar dan bergeser menjadi semacam kemutlakan khususnya pada tataran ideologi demokrasi. Hanya saja, sejalan dengan makin majunya kebudayaan dan peradaban manusia, kebutuhan itu ditransformasi ke bentuk-bentuk pemupukan yang lebih lunak. Tidak ada lagi penjajahan secara eksplisit (mungkin yang ada sekarang adalah eksploitasi, yang sebenarnya bermakna sama). Tidak ada pembunuhan, tidak ada kekejaman fisik atau penganiayaan. Akan tetapi, sifat "memaksa"-nya tetap terabadikan akibat karakteristik pendanaan operasi pemerintah dan negara yang masih "tidak mungkin" dipenuhi oleh negara atau pemerintah sendiri.
Di Indonesia, karakteristik memaksa itu pun diadopsi dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi:"Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."2 Sejarah Indonesia, dalam hal ini pun mengalami proses transformasi yang sama. Bahkan, persepsi tentang pajak pun dibumbui pula oleh pengalaman sejarah bangsa ini yang pernah dijajah oleh beberapa bangsa lain. Di masa-masa penjajahan itu, tertoreh berbagai luka sejarah sehubungan dengan kebutuhan (atau kerakusan) bangsa-bangsa lain yang dipaksakan kepada bangsa Indonesia.3
Dalam konteks konstitusi tentunya harus dipahami dahulu urgensi dari pajak dan pungutan yang bersifat memaksa ini. Yang terdapat dalam Pasal 23A di atas, ketentuan yang tertuang di situ tidak bisa lepas dari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri. Cita-cita ini tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Maka, urgensi pajak dan berbagai pungutan resmi lain yang diberlakukan terhadap rakyat bangsa ini, semestinya adalah tetap berorientasi pada kesejahteraan, khususnya kesejahteraan publik. Kita asumsikan saja masih seperti itu. Namun, luka sejarah itu masih terbawa hingga saat ini walaupun pergeseran yang sama juga dialami oleh bangsa Indonesia.
Sejak tahun 1984, berbagai aturan tentang pajak dan pungutan lain direformasi. Sebelumnya, berbagai perangkat aturan itu adalah peninggalan bangsa penjajah yang dicurigai masih berbau feodalisme. Segenap lapisan bangsa ini, sejak saat itu, diharapkan bisa memahami proses transformasi nilai yang terjadi dalam dunia perpajakan. Sayangnya, tugas transparansi dan pemahaman itu nampaknya belum tuntas. Mulai tahun 2000-an, perangkat aturan itu juga direformasi lagi. Salah satu orientasinya, adalah menciptakan sistem pajak dan pungutan yang lebih mendekati keadilan. Sekali lagi, nampaknya proses transparansi dan edukasinya masih belum tuntas.
Kesenjangan demi kesenjangan, yang ditimpali juga dengan berbagai pola praktek yang dianggap menyimpang atau tidak konsisten, pada akhirnya memunculkan sebuah fenomena sebagaimana yang kita hadapi sekarang. Di satu sisi, otoritas pemerintahan mencoba untuk tetap mengandalkan pembiayaan roda pemerintahan dan negara dengan menggali sumber-sumber dari rakyat secara langsung. Hal ini dilakukan dengan mentransformasi pajak dan pungutan lain dari pola-pola yang kejam dan tak berperikemanusiaan, menjadi bentuk-bentuk pemupukan yang tetap memaksa akan tetapi dengan cara yang lebih manusiawi. Bahkan, otoritas kita mencoba untuk makin memperlunak pola itu dengan menerapkan metode self assessment system yang lebih menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan otoritas kepada rakyatnya. Akhir-akhir ini, malah berkembang sebuah konsep baru yang masih butuh pemahaman cukup mendalam, yaitu ketaatan sukarela (voluntary compliance). Maksudnya, pajak dan pungutan tetap dipaksakan, akan tetapi ketaatan berkaitan dengan paksaan itu harus diikuti secara sukarela. Ini tentunya butuh pemahaman yang tidak sederhana. Sebab, untuk memahaminya, setiap orang harus bisa memahami terlebih dahulu urgensi dari pajak dan pungutan itu sendiri.
Di sisi yang lain, pembayar pajak kita yang notabene adalah seluruh rakyat Indonesia, adalah masyarakat yang masih trauma dengan masa lalu sejarah berkaitan dengan pola pajak dan pungutan yang dilakukan oleh bangsa penjajah. Apa yang mereka pahami, adalah tidak terjawabnya pertanyaan: "Jika saya membayar pajak, kami dapat apa? Dan jika kami tidak membayar pajak, mengapa kami dipaksa dan bahkan dihukum?". Belum lagi, hal ini ditambah dengan persepsi yang dibentuk oleh dunia praktek yang sering diwarnai dengan feodalisme. Akhirnya, masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghindari pajak dan pungutan, apapun caranya. Jika bisa, tidak harus membayar pajak. Dikaitkan dengan dunia praktek yang sekarang berlangsung, keinginan itu bertambah menggebu-gebu akibat dorongan fakta, isu, realitas, persepsi dan apapun tentang pajak yang dikhawatirkan makin simpang-siur.4
A.2. Pengertian Pajak
Pajak diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang hasilnya dipergunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah, yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya, sedangkan pelaksanaannya dimana perlu dapat dipaksakan.5 Hukum pajak, yang juga disebut sebagai hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut sebagai wajib pajak).6
Pemberian balas jasa dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk pemberian kepada seluruh masyarakat, seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, pembangunan sarana dan prasarana umum masyarakat dan sebagainya. Sehingga dengan demikian pengertian pajak adalah :
a. suatu pungutan oleh pemerintah
b. berdasarkan peraturan perundang-undangan
c. untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah
d. pemerintah tidak secara langsung memberikan balas jasa kepada pribadi pembayar pajak
e. pelaksanaannya dimana perlu dapat dipaksakan.7
Didalam konstitusi kita yaitu UUD 1945 hasil Amandemen ketiga Pasal 23A mengatakan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” ini berarti, di Indonesia apabila ada suatu pungutan pajak harus didasarkan kepada undang-undang yang berlaku, yang lebih lanjut berarti, harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat.8
Batasan atau definisi pajak ada berbagai macam, akan lebih bermanfaatlah kiranya bilamana diadakan peninjauan dari kupasan terhadap hal ihwal yang dirumuskan dalam beberapa diantaranya.
Pengertian Pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang dapat langsung ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Prof. Adriani memasukan pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu species kedalam genus pungutan (jadi, pungutan adalah lebih luas). Dalam definisi tersebut dititik beratkan pada fungsi budgetair dari pajak. Pajak masih mempunyai fungsi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu fungsi mengatur.
Yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah prestasi khusus yang erat hubunganya dengan pembayaran “iuran” itu. Prestasi negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak polisi dan tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh pembayar pajak itu, tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Buktinya orang yang tidak membayar pajakpun dapat mengeyam kenikmatan.9
Pengertian pajak menurut Dr. MJH. Smeeths, Pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah. Kedua definisi yang ada diatas tersebut hanya menonjolkan fungsi Budgetair (mengisi kas negara) dari pajak sedang fungsi pajak yang tidak kalah pentingnya adalah funsi Regulerend (mengatur).10
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.
Dengan melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, maka “unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi tersebut adalah :
1. Bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
2. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, artinya : hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita.
3. Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum, sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka ini diangap tidak sah dan dianggap juga sebagai perampasan hak.
4. Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan secara langsung. Prestasi dari negara seperti : hak untuk mendapat perlindungan dari alat-alat negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengairan dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditunjukan secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditunjukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.
5. Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk juga ABRI dan sebagainya.11
A.3. Konsep Dasar Hukum Perpajakan Indonesia
Menurut Rohmat Soemitro hukum pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut :
1. hukum perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya
2. hukum publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi menjadi, hukum tata negara, hukum tata usaha negara(hukum administrasi negara), hukum pajak, hukum pidana.
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut lex specialis derogat lex generalis, artinya peraturan khusus lebih diutamakan daripada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan umum maka dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.12

A.4. Konsep Islam tentang Zakat dan Pajak
Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun dalam Islam. Rukun ketiga dari rukun Islam yang kelima, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadist nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keIslaman seseorang.13
Dalam berbagai sumber atau literatur Islam, zakat menurut tata bahasanya berarti namaa (kesuburan), thaharah (kesucian), barakah (keberkatan), dan dapat pula diartikan sebagai tazkiyah, tathier (mensucikan).14 Dengan meletakan pengertian zakat seperti diatas, zakat pada hakekatnya sebagai sarana bagi umat Islam untuk membersihkan diri dari kekotoran dan kekikiran terutama harta benda.
Didalam Al-Quran terdapat dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam bentuk kata. dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam bentuk kata. Dalam Al-Quran juga terdapat berbagai ayat, memuji orang-orang yang secara sungguh-sunguh menunaikannya dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang-orang yang sengaja meninggalkannya. Karena itu Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq bertekad memerangi orang-orang yang shalat, tetapi tidak mau mengeluarkan zakat.15
Berbagai pendapat kini berkembang dikalangan masyarakat tentang persamaan dan perbedaan antara Zakat dengan Pajak. Sebagian mempersamakan secara mutlak, yaitu sama dalam status hukumnya, tata cara pengambilannya, maupun pemanfaatannya. Sebagian lagi membedakannya secara mutlak, berbeda dalam pengertian, tujuan, tata cara pengambilan, sekaligus penggunaannya. Tetapi ada pula yang melihat bahwa pada sisi tertentu terdapat persamaan antara keduannya. Sedangkan pada sisi lain, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya.16
Antara zakat dan pajak tidaklah berbeda, kalau pajak memiliki unsur paksaan yang dikenakan wajib pajak dengan menggunakan instrumen negara yang absah, maka zakatpun demikian adanya. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, maka dalam konteks Islam negara akan memaksanya. Pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat yang disebut negara pusat maupun daerah, maka zakat juga dikelola menurut struktur pemerintahan yang ada dengan badan Amil zakat (al- alimin alaiha). Dalam pemanfaatan pajak ataupun zakat, wajib zakat berkewajiban memberikan zakatnya untuk membantu kaum fakir miskin tentu tujuannya untuk membantu menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup. Apabila pajak dalam sistem perekonomian modern mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat juga demikian.17
A.5. Fungsi sistem pemungutan pajak menurut UU Pajak Nasional
Memungut pajak merupakan salah satu atribut mutlak dari kedaulatan suatu negara yang dicantumkan dalam undang-undang dasar negara. Jadi undang-undang dasar itu merupakan suatu dasar hukum terkuat bagi negara yang akan memungut pajak. Akan tetapi meskipun demikian halnya pajak-pajak yang dipungut oleh negara haruslah didasarkan pada undang-undang. Alasan tersebut disebabkan didalam pemungutan pajak telah timbul peralihan kekayaan tertentu dari sektor swasta kepada sektor pemerintah(negara). Dengan demikian didalam hal pajak-pajak diperlukan terlebih dahulu adanya persetujuan dari rakyat, sehingga pajak yang menimbulkan peralihan kekayaan dari sekor tersebut diatas tidak disebut sebagai”perampasan oleh negara” untuk itulah harus ada undang-undang yang mengaturnya.18
Dalam pemungutan pajak dapat diketahui bahwa terdapat dua fungsi dalam prakteknya, yaitu antara lain:
1. fungsi budgetair, yaitu memasukan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara.19 dalam hal ini bahwa pembangunan hanya dapat terlaksana dengan ditunjang keuangan yang cukup tersedia pada kas negara. Untuk itu pajak merupakan sumber penerimaan terbesar dalam keuangan negara. Otomatis pajak mempunyai peranan dalam keuangan negara lewat tabungan pemerintah untuk disalurkan kesektor pembangunan. Tabungan pemerintah ini dapat dilihat dari surplus, penerimaan atau rutin biasa setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin biasa. Penerimaan rutin adalah seperti penerimaan dari sektor pajak, retribusi, bea dan cukai, hasil perusahaan negara denda dan sitaan. Penerimaan rutin biasa adalah untuk membiayai pengeluaran rutin biasa pemerintah, seperti gaji pegawai, pembelian alat tulis kantor, ongkos pemeliharaan gedung pemerintah, bunga dan angsuran pembayaran utang-utang kepada negara lain, tunjangan sosial dan lain sebagainya.20
2. fungsi regulerend atau fungsi mengatur dalam hal ini berarti pajak sebagai alat bagi pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural maupun dalam bidang politik. Dalam fungsi mengatur ini adakalanya pemungutan pajak dengan tarif yang tinggi atau sama sekali dengan tarif nol persen.21
A.6. Teori dan Asas-asas Pemungutan Pajak
Mengenai tujuan hukum pada umumnya, kita pernah mendengar ajaran berbagai sarjana, Aristoteles yang terkenal dalam bukunya Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. sesuai dengan tujuan hukum itu, kebanyakan sarjana menganggap pula, bahwa tujuan hukum pajak adalah membuat adanya sebuah keadilan dalam soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus dipegang teguh baik dalam prinsib mengenai perundang-undangan maupun dalam prakteknya sehari-hari.22
Seperti apa yang telah dikemukakan, bahwa hukum pajak haruslah mengabdi pada keadilan, keadilan merupakan sebuah asas pemungutan pajak yang menginjak dunia filsafat hukum, yang kemudian oleh para sarjana diciptakan dalam berbagai bentuk teori yang membenarkan pemberian dasar penghalalan hukum kepada negara yang memungut pajak dari harta kekayaan rakyatnya.23
Untuk merealisasikan sebuah keinginan negara dalam menciptakan sebuah keadilan pemungutan pajak, maka negara mempunyai beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak tersebut dari rakyatnya. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori Asuransi, bahwa dalam hal ini negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan, dalam hal ini pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang.
3. Teori daya Pikul, beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan :
a. Unsur obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b. Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Baku, dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli, dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya adalah memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali kemasyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.24
Dalam pemungutan pajak tidak hanya mendasarkan pada teori-teori, namun ada hal lain yang lebih penting, yaitu terkait dengan asas-asas pemungutan pajak. Asas-asas principle adalah sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan untuk menjelaskan sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tindakannya suatu pemungutan pajak.
Adam smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “the four maxims” dengan uraian sebagai berikut :
1. Equality (asas persamaan). Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima dibawah perlindungan negara. Yang dimaksud keuntungan disini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh dibawah perlindungan negara.
2. Certainty (asas kepastian) asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan obyek pajak.
3. Conveniency of payment (asas menyenangkan) pajak seharusnya dipungut dengan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya pemungutan pajak bumi dan bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen.
4. Low cost of collection (asas efisiensi) asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran belanja negara.25


A.7. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Dasar hukum penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Dalam pasal 7 UU No.19 tahun 2000 dikatakan bahwa, surat paksa harus berkepala kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, dalam hal ini mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan pasal 8 UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa ditegaskan bahwa surat paksa diterbitkan apabila :
a. Penanggung pajak tidak melunasi hutang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
c. Penangung jawab pajak tidak memiliki ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat perintah “penagihan seketika dan sekaligus” dapat diterbitkan oleh menteri keuangan dan kepala daerah apabila :
a. penangung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
b. Penanggung pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya diIndonesia, ataupun memindah tangankan barang-barang yang dimiliki atau dikuasainya.
c. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya.
d. Badan usaha akan dibebaskan oleh negara.
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat paksa terhadap “Badan” diberitahukan oleh juru sita pajak kepada :
a. pengurus pemegang saham baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan.
b. Pegawai tingkat pimpinan ditempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila juru sita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Apabila surat paksa telah diberitahukan atau disampaikan kepada penanggung pajak dan ternyata penanggung pajak tidak memenuhi kewajibanya sebagaimana yang telah ditentukan pada surat paksa, maka surat paksa harus dilaksanakan terhadap penanggung pajak yang bersangkutan. Setelah lewat waktu 2 kali 24 jam dan wajib pajak tidak juga membayar pajak, barulah diadakan penyitaan terhadap barang-barang milik wajib pajak untuk dijadikan jaminan utang pajaknya kepada negara.26




B. Pengertian Pajak “Uplift”
B.1. Uplift dalam Aspek Kontraktual
Sebagaimana diketahui bahwa 4 persyaratan atau ciri khas industri perminyakan disektor hulu adalah 4H (High cost, High Technology, High Risk dan dikelola oleh High Profesional Skill) dalam bidang Enhanced Oil Recovery dengan didukung oleh tenaga ahli bidang keahliannya yang lain. Keempat persyaratan tersebut mutlak harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan Minyak untuk dapat memperoleh minyak dan gas bumi. Salah satu saja persyaratan tidak dipenuhi maka perusahaan minyak tersebut akan gagal dalam usahanya mencari atau memperoleh sumber minyak.
PERTAMINA dalam hal ini paham benar akan persyaratan tersebut diatas. Yang menjadi permasalahan adalah dana PERTAMINA yang tersedia lebih baik diinvestasikan ke First Priority Project yang Low Risk, Quick Yielding (tingkat pengembalian investasi yang cepat) dan tentunya High Profit. Oleh sebab itu keempat persyaratan 4H, PERTAMINA membebankan kepada kontraktor dengan pengertian bahwa PERTAMINA atau pemerintah tetap memperoleh hasil produksinya dari Equity Oil bagian PERTAMINA atau pemerintah setelah pembagian hasil.27
Enhanced Oil Recovery Contract For Limau Niru Area Between PERTAMINA And Husky Oil Limau Ltd. Yang beroperasi diwilayah kerja pertambangan PERTAMINA adalah salah satu bentuk dari Product Sharing Contract sebagaimana diatur dalam undang-undang no. 44 Tahun 1960 tentang pertambangan Minyak dan Gas bumi dan undang-undang No : 8 tahun 1971 tentang PERTAMINA dengan syarat sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah No : 35 tahun 1994.28
Dalam substansi isi kontrak yang mana Kontraktor sebagai Risk Party mendanai seluruh Enhanced Oil Recovery operating cost, termaksud didalamnya dana talangan untuk memenuhi kewajiban PERTAMINA Participating Interest Share 50 % dalam pembiayaan proyek EOR Limau Area dan menanggung seluruh resiko kegagalan memproduksikan Incremental Oil ketingkat komersial termasuk Finance Risk And Opportunity Cost.
B.2. Uplift Dalam Aspek Operasional
Enhanced Oil Recovery Operation adalah mengurangi minyak (Oil Recovery) tahap lanjut dari Recevoir minyak ke sumur produksi setelah tahapan pertama (Primary Recovery) berakhir, dengan tujuan untuk meningkatkan produksi minyak komulatif sebanyak-banyaknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menurut penelitian ilmiah, masih banyak sekitar 70 %-80 % minyak yang masih tertinggal didalam Recevoir minyak yang tidak terproduksikan secara primary recovery. Di Indonesia jumlah tersebut cukup banyak berada pada angka ratusan juta barel. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sedangkan terjadinya minyak memerlukan waktu jutaan tahun. sehingga minyak yang tidak dapat diproduksikan secara primary recovery perlu dilanjutkan ketahap Enhanced Oil Recovery mengingat eksplorasi minyak yang semakin sulit dan mahal untuk menemukan cadangan –cadangan baru.
Tehnik pengurasan minyak tahap lanjut tersebut antara lain dengan cara Water flood, Thermal Recovery, Stamp Flood, Chemical Flooding (Surfactan, Polimer, Foam, Gel ataupun CO2, N2 ) mikro bio kombinasi air dan gas dan lain-lain yang diinjeksikan kedalam Reservoir melalui sumur injeksi, tehnik pengurasan minyak tahap lanjut tersebut merupakan suatu high technique yang pelaksanaannya memerlukan biaya yang sangat besar (high cost) dengan resiko kegagalan yang tinggi (High Risk) karena banyak mengandung ketidakpastian keberhasilan tehnik pengurasan minyak tahap lanjut yang cocok dengan karekterastik batuan dan Fluida Reservoar minyak. Untuk melaksanakan teknik pengurasan minyak tahap lanjut tersebut diperlukan tenaga ahli Specialist Enhanced Oil Recover (High Profesional Skill) dan tenaga ahli lainnya.
Mengingat hal tersebut tampak Enhanced Oil Recovery Contract kurang diminati oleh investor asing, lebih-lebih Investor Swasta Nasional . Hal ini perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia mengingat pada suatu saat nanti Indonesia sepenuhnya akan menjadi Negara Net Importir minyak . Masalah ini juga perlu dicermati secara seksama oleh pemerintah dengan memberikan dukungan positif kepada para Investor untuk bergairah bergerak dalam bidang Enhanced Oil Recovery Project antara lain memberikan kemudahan atau pemberian paket insentif kepada para Investor


B.3. Uplift Dalam Aspek Hukum
Undang – undang No : 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan undang-undang No : 17 tahun 2000, pasal 4 ayat 3 huruf c disebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam obyek pajak adalah harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 huruf b sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal. Yang mana pada prinsibnya harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan lain ini, harta yang diterima bukanlah merupakan obyek pajak.
Keputusan Menteri Keuangan No : 267/ KMK.012/ 1978 yang telah dirubah dengan surat keputusan Menteri Keuangan No : 458/ KMK. 012/ 1984. konsep dasar yang ada dalam perjanjian bagi hasil antara PERTAMINA dengan kontraktor minyak asing sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No : 8/ 1971, adalah mengatur pembagian produksi antara PERTAMINA dengan kontraktor yang bersangkutan atas dasar pendapatan bersih setelah pajak (Not After Tax basis).
Surat menteri keuangan tersebut adalah mengenai tata cara perhitungan dan pembayaran pajak perseroan dan pajak atas bunga, devident dan royalty yang terhutang oleh kontraktor dibidang minyak dan gas bumi yang mengadakan kontrak dengan PERTAMINA, sehingga jaminan akan diperoleh keuntungan bersih PERTAMINA sesudah pajak adalah sebesar 85 % dan keuntungan bersih bagian kontraktor sebesar 15 % hal ini sesuai dengan prinsib – prinsib kontrak Prodution Sharing.29

C. Peranan PTUN dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara (PTUN) dikenal dalam hukum administrasi sebagai suatu peradilan atas tindakan dari pemerintah atau penguasa (overheid) yang dikenal dengan istilah Onrechmatige Overheidsdaad, yaitu menyangkut pada tindakan-tindakan, pertama, tindakan pemerintah itu melampui batas-batas kekuasaan (exes dupovoir). Kedua, tindakan pemerintah itu merupakan penyimpangan kekuasaan (detournment de povuoir). Ketiga, tindakan pemerintah itu merupakan penyalahgunaan wewenang (abus de droit)30
C.1. Arti Istilah Hukum Tata Usaha Negara
Istilah Tata Usaha Negara disebagian lingkungan perguruan tinggi dikenal dengan nama “Administrasi Negara” alasannya karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit daripada istilah Administrasi negara itu sendiri. Istilah Tata usaha negara menurut UU No. 5 tahun 1986 adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah. UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha negara, menurut pasal 144 dapat disebut UU peradilan administrasi negara.31
Dalam arti sempit, peradilan tata usaha negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni. Pengertian tata usaha murni adalah suatu perkara yang tidak mengandung “pelanggaran hukum” pidana ataupun perdata, melainkan suatu persengketaan yang berpangkal atau berkisar pada interpretasi dari suatu pasal atau ketentuan undang-undang dalam arti luas oleh hakim, jaksa dan pengacara serta masyarakat pada umumnya berpegang pada interpretasi yuridis, artinya pengertian yang tidak melawan hukum (interpretasi obyektivitas).32
Dalam arti luas, peradilan tata usaha negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansi-instansi tata usaha negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara adat maupun perkara-perkara administrasi negara murni.
Dalam konteks ini para pejabat administrasi negara berpegang teguh pada interpretasi administratif (interpretasi subyektivistis) yang artinya suatu pengertian yang memungkinkan para pejabat menyelenggarakan atau merealisasikan pasal-pasal (dalam arti luas) sehingga segala sesuatu yang dikehendaki oleh undang-undang itu terwujud. Sehingga dalam prakteknya terdapat banyak konflik yang disebabkan oleh cara-cara yang dipakai oleh para pejabat administrasi negara untuk menyelenggarakan kehendak-kehendak negara tersebut, kadang-kadang diangap melawan hukum atau melanggar tata kesopanan. Bilamana hal ini dapat dibuktikan, maka perkaranya dapat dijadikan perkara perdata dan dilakukan gugatan sebagai “On Rechtmatige Overheidsdaad” yaitu pada pasal 1365 KUH Perdata.33

C.2. Asas – asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam PTUN
Berdasarkan penjelasan umum undang-undang nomor 5 tahun 1986, dalam peradilan TUN mempunyai sedikit banyak persamaanya dengan hukum acara perdata HIR yang berlaku sekarang, yaitu cara mengajukan gugatan. Adapun yang menjadi perbedaan dalam hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hakim berperanan lebih aktif dalam penanganan proses peradilan, dengan maksud agar supaya banyak memperoleh kebenaran materiil, oleh sebab itu dalam undang-undang nomor 5 tahun 1986 ini mengarah kepada pembuktian yang bebas aktif.
Gugatan dalam hukum acara peradilan tata usaha negara pada asasnya tidak dibenarkan menunda sifat-sifa pelaksanaan penyelesaian keputusan peradilan tata usaha negara, oleh karena sesuai dengan fungsinya peradilan tata usaha negara memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diberikan berbagai kemudahan-kemudahan kepada masyarakat yang dirugikan oleh tindakan alat perlengkapan negara atau oleh penguasa dalam mencari keadilan yang atara lain :
a. bagi warga masyarakat yang tidak dapat menulis atau PBH atau membaca. panitera pengadilan TUN merumuskan materi gugatannya, khususnya lagi bagi warga masyarakat yang digolongkan tidak mampu diberi kesempatan mengajukan gugatan secara cuma-cuma atau prodeo.
b. apabila terdapat kepentingan warga masyarakat kedudukannya sebagai penggugat dan diperkirakan kepentingannya cukup mendesak misalnya terkena penggusuran tempat tinggal, berdasarkan permohonan warga masyarakat sebagai penggugat, maka ketua pengadilan tingkat pertama yaitu peradilan tata usaha negara dapat mengambil kebijaksanaan dilakukan pemeriksaan cepat.34
Dalam pemahaman terhadap AAUPL tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan, disamping dari segi kebahasaan. Hal ini karena asas ini muncul dari proses sejarah. Terlepas dari kenyataan bahwa kemudian AAUPL ini menjadi wacana yang dikaji dan berkembang dikalangan para sarjana sehingga melahirkan rumusan dan interpretasi yang beragam, guna pemahaman awal kiranya diperlukan pengertian dari konteks kebahasaan dan kesejarahan. Dengan bersandar pada dua konteks tersebut, AAUPL dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintah itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.35
Meskipun belum memiliki sandaran yuridis formal, akan tetapi dalam praktek peradilan terutama pada PTUN asas-asas ini telah diterapkan, sebagaimana akan terlihat pada sebagian putusan PTUN. Sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktek peradilan di Indonesia karena memiliki sandaran yuridis dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam pasal ini ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.36
Dengan demikian setiap badan atau pejabat TUN, Hakim PTUN dan seluruh penduduk terikat terhadap asas-asas umum pemerintahan yang layak yang tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan Indonesia.37AAUPL tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan doktrinal, tetapi lebih dari itu AAUPL juga mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan merupakan salah satu sumber HAN formal yang mana produk hukum tersebut akan mengikat bagi seluruh penduduk secara langsung.38
Secara teoritis dapat dikelompokan bentuk dari AAUPL, yang dilakukan dengan cara membedakan antara yang formal dan materiel. Bersifat formal maksudnya adalah melihat kepada asas-asas yang berkaitan dengan persiapan susunan dan motivasi pembuatan suatu beschikking, sedangkan yang bersifat materiel, berhubungan dengan isi suatu beschiking.39
Apabila pembedaan diatas dihubungkan dengan pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986, maka pembedaan bersifat formal maupun materiel tersebut ditemukan dalam pasal tersebut. Bersifat formal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat prosedural, yang tidak dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara ketika mengeluarkan suatu keputusan, padahal menurut ketentuan UU maupun kebiasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara prosedur itu harus dilaksanakan. Sedangkan yang bersifat materiel, berhubungan dengan hal-hal yang bersifat substansial, dimana keputusan itu secara materiel bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.40
Telah disebutkan bahwa AAUPL merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah, oleh karena itu terdapat rumusan yang beragam mengenai asas-asas tersebut. Meskipun demikian dalam karya ilimah ini tidak dibicarakan rumusan yang beragam tersebut, namun hanya akan memuat AAUPL yang telah dirumuskan oleh penulis dari Indonesia, khusunya Koentjoro Purbopranoto, menurutnya AAUPL tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum
2. Asas keseimbangan
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan
4. Asas bertindak cermat
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan
6. Asas tidak mencampuradukan kewenangan
7. Asas permainan yang layak
8. Asas keadilan dan kewajaran
9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi
12. Asas kebijaksanaan
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.41

C.3. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara
Tujuan dari peradilan tata usaha negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum, atau tepatnya menurut undang-undang, ataupun tepat secara efektif maupun berfungsi secara efisien.42 Dengan kata lain peradilan tata usaha negara diharapkan untuk dapat menyelesaikan sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional, peradilan tata usaha negara diharapkan mampu untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat khususnya dalam hubungan antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat.43
Sesuai dengan maksudnya, maka sengketa ini haruslah merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan hukum atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara (KTUN), yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata. Dengan demikian, peradilan TUN itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan tata usaha negara tersebut.44
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep Universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun seperti disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan mekanisme sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan.45
C.4. Kompetensi atau Kewenangan PTUN
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam undang-undang No.5 1986 ini dilaksanakan oleh pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan prinsib-prinsib yang ditentukan oleh undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Di tingkat daerah tingkat I dibentuk sebuah pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota propinsi, dimana pembentukan itu dilakukan dengan undang-undang. Pembentukan pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara akan dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan berbagai faktor, baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
Dalam memeriksa dan memutus sengketa-sengketa yang terjadi, pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara bagi rakyat pencari keadilan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali :
a.sengketa kewenangan yang telah diputus oleh pengadilan tata usaha negara didaerah hukumnya, dalam hal ini pengadilan tata usaha negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif, dalam hal ini pengadilan tata usaha negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama.
Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai pelaksanaan tertinggi kekuasaan kehakiman dan pengadilan kasasi diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.46
Peradilan hukum tata usaha negara berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang terbit dibidang tata usaha negara yaitu antara seseorang warga negara atau masyarakat, badan hukum perdata dengan badan tata usaha negara atau pejabat birokrasi negara, termasuk perselisihan sengketa masyarakat terhadap :
a. pencemaran terhadap tata lingkungan
b.kesehatan atau perlindungan lingkungan
c. lingkungan transnasional atau Internasional
d. perselisihan lingkungan47
Seorang warga masyarakat atau badan-badan hukum perdata yang merasakan kepentingannya dirugikan oleh sebuah keputusan pejabat tata usaha negara, berhak mengajukan gugatan secara tertulis kepada pengadilan tata usaha negara yang berwenang didaerah hukumnya, yang lazimnya meminta pembatalan keputusan tata usaha negara yang bertentangan dengan undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang berlaku atau tidak sah baik dengan atau disertai tuntutan ganti kerugian maupun rehabilitasi (pasal 53 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1986)48
C.5. Arti Pentingnya Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia
Hadirnya lembaga peradilan tata usaha negara patutlah disambut baik meskipun belum sepenuhnya memuaskan, karena sebagai contoh yang bisa diajukan sebagai bahan gugatan semata-mata suatu keputusan tata usaha negara (beschiking), yang merupakan suatu penetapan tertulis, bersifat konkret, individual dan final. Jadi, hanya apa yang menjadi keputusan pemerintah dalam bentuk tertulis sajalah yang bisa dijadikan bahan gugatan dimuka hakim tata usaha negara.49
Benyamin Mangkudilaga, dalam hal ini mengatakan bahwa Peradilan tata usaha negara (PTUN) dikenal dalam hukum Administrasi negara sebagai suatu peradilan atas tindakan dari pemerintah atau penguasa atau overheid yang dikenal dengan istilah Onrechmatige Overheidsdaad, yaitu yang menyangkut pada tindakan-tindakan : pertama, tindakan pemerintah Overheid itu melampaui batas-batas kekuasaan (exes dupouvoir). Kedua, tindakan pemerintah itu merupakan penyimpangan kekuasaan (detournement de pouvoir). Ketiga, tindakan pemerintah itu merupakan penyalahgunaan wewenang (abus de droit).
Dari pernyataan diatas, maka peradilan tata usaha negara (PTUN) berada dalam satu lingkaran konsentris demokrasi pancasila. Oleh karena itu secara langsung dapat dikatakan bahwa PTUN jelas sangat berperan penting untuk mewujudkan demokrasi pancasila.. Walaupun demikian harus diakui bahwa adanya PTUN merupakan wujud nyata pembangunan demokrasi pancasila, yaitu dalam kaitannya dengan pelembagaan penyelesaian perselisihan atas dasar keadilan masyarakat dan persamaan di depan hukum.50
Berkaitan dengan itu maka upaya –upaya memberikan kriteria yang lebih jelas pada slogan –slogan yang sering dipergunakan untuk membenarkan tindakan aparatur pemerintah, seperti demi kepentingan umum, demi stabilitas politik, demi keberlangsungan pembangunan dan lain-lain, perlu diberikan ukuran-ukuran yang lebih jelas. Hal ini dimaksudkan agar tindakan aparatur pemerintah tidak selalu berlindung dibalik slogan, sementara tindakan tersebut menyinggung konsepsi keadilan yang ada dimasyarakat.
Kehadiran UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, akan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan kelak. Persiapan sarana personalia hakim dan personalia lainnya juga akan menduduki hal penting dalam lembaga peradilan tersebut. Kemudian aparatur pemerintah sendiri baik yang ada di pusat maupun yang ada didaerah, yang kelak harus dipersiapkan menghadapi gugatan-gugatan yang ditunjukan terhadapnya.51
C.6. Ketetapan dan Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara .
Ketetapan menurut E. Utrecht, adalah merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu wewenang istimewa). Ketetapan itu suatu perbuatan pemerintahan dalam arti luas, yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti kata sempit.52 Sedangkan menurut Sjahran Basah, yang dimaksud dengan ketetapan adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum dalam arti luas untuk menyelenggarakan pemerintahan (dalam arti sempit).53
Dari dua pandangan diatas, dapatlah dikatakan bahwa suatu ketetapan adalah suatu keputusan yang :
a. dikeluarkan oleh alat pemerintah (administrasi negara)
b. bersifat sepihak
c. ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu
Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka ketetapan berfungsi menetapkan situasi hukum yang konkrit dan mempunyai akibat hukum bagi yang dikenai ketetapan.54 agar suatu ketetapan itu sah sehingga ketetapan dapat diberlakukan, maka harus diperhatikan beberapa syarat tertentu. Tidak diperhatikannya ketentuan dalam membuat suatu ketetapan akan menghasilkan ketetapan yang tidak sah menurut ketentuan hukum. Menurut Donner, kekurangan dalam ketetapan dapat mengakibatkan :
1. ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali
2. berlakunya ketetapan tersebut dapat digugat;
a.dalam bandingan (beroep)
b.dalam pembatalan oleh jabatan, karena bertentangan dengan undang-undang
c.dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak mengeluarkan ketetapan tersebut.
3. dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan dari suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan tersebut tidak diberi.55
Pokok pangkal sengketa yang dimaksudkan disini adalah merupakan sumber atau asal muasal timbulnya sengketa. Dalam lapangan hukum administrasi negara, pokok pangkal sengketa hanya lahir dari akibat dikeluarkannya suatu ketetapan tertulis. Ketetapan yang tidak tertulis tidak termasuk sebagai pangkal pokok sengketa.
Dengan adanya pangkal pokok sengketa berarti telah lahir suatu sengketa yang harus diselesaikan melalui jalur hukum. Karena ketetapan adalah hasil karya pejabat administrasi negara, maka pengadilan yang dimaksud juga harus khusus, yaitu pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1986.56
Bertalian dengan perbuatan administrasi negara yang minimbulkan kerugian bagi yang terkena ketetapan sebagai pokok pangkal sengketa, maka perbuatan –perbuatan yang dapat dituntut yang dituangkan dalam ketetapan adalah :
1. perbuatan administrasi negara yang melawan hukum. Yaitu perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja yang melanggar undang-undang, peraturan-peraturan formal yang berlaku dan juga kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh penguasa yang minimbulkan kerugian bagi yang terkena.
2. perbuatan adminstrasi negara yang menyalahgunakan wewenang adalah perbuatan yang menggunakan wewenang untuk mencapai kepentingan umum yang lain daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kepentingan orang lain atau golongan lain.
3. perbuatan administrasi negara yang sewenang-wenang adalah perbuatan yang berada diluar ketentuan undang-undang.57
Dalam undang-undang nomor nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN, pokok pangkal sengketa disebut dengan “sengketa tata usaha negara” yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkanya keputusan tata usaha negara termasuk didalamnya sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.58
C.7. Kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
Pembagian hukum kedalam hukum publik dan hukum privat yang dilakukan oleh ahli hukum romawi, Ulpianus, ketika ia menulis “hukum publik adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara romawi, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan” dalam hal ini pengaruh daripada tulisan ahli hukum romawi ini pengaruhnya cukup besar dalam sejarah pemikiran hukum sampai sekarang ini. Salah satunya yang masih terasa sampai saat ini adalah bahwa kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembagian tersebut, termasuk dalam mengkaji keberadaan pemerintah dalam melakukan pergaulan hukum.59
Dalam prespektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Diantara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi obyek hukum administrasi negara. Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, ada beberapa ciri yang terdapat dalam jabatan atau organ pemerintahan yaitu :
1. organ pemerintah menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab sendiri, yang dalam pengertian modern, diletakkan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggungjawab pemerintah sendiri dihadapan hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggungjawab.
2. pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintah dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding atau perlawanan.
3. disamping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.
4. pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian dari alat dari badan hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan bupati atau walikota adalah organ dari badan umum “kabupaten” berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya.
Oleh karena itu jika ada putusan hakim yang berupa denda atau uang paksa yang dibebankan kepada organ pemerintah atau hukuman ganti kerugian dari kerusakan, maka kewajiban membayar dan ganti kerugian itu dibebankan kepada badan hukum (sebagai pemegang harta kekayaan).60
C.8. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
Peradilan hukum Tata Usaha Negara berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa yang terbit di bidang Tata Usaha Negara yaitu antara seseorang warga negara atau masyarakat, atau badan hukum perdata dengan badan hukum Tata Usaha Negara atau pejabat birokrasi Negara.61Dalam memeriksa dan memutus sengketa-sengketa yang terjadi, pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara bagi rakyat pencari keadilan.62
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali :
a. Sengketa kewenangan yang telah diputus oleh pengadilan Tata Usaha Negara didaerah hukumnya, dalam hal ini pengadilan Tata Usaha Negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif, dalam hal ini pengadilan Tata Usaha Negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama.
Mahkamah Agung sebagai pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman dan pengadilan kasasi diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu undang-undang N0.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.63
Undang-undang peradilan Tata Usaha Negara memberikan landasan pada badan Yudikatif untuk menilai tindakan badan Eksekutif, namun tidak semua tindakan badan Eksekutif yang masuk dalam kompetisi peradilan Tata Usaha Negara. Tindakan badan Eksekutif dapat dikelompokkan dalam 3 macam, yaitu :
1. mengeluarkan keputusan (beschikking)
2. mengeluarkan peraturan (regeling)
3. melakukan perbuatan materiil (materiele daadl)
yang termasuk dalam kompetisi peradilan tata usaha negara, dalam arti tindakan atau perbuatan badan Eksekutif yang dapat dinilai oleh peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan mengeluarkan keputusan (beschikking). Dalam hal gugatan pengadilan Tata Usaha Negara terbatas hanya pada satu macam tuntutan pokok yakni agar keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan tambahan yang boleh hanya berupa tuntutan ganti rugi, dan khusus dalam sengketa kepegawaiaan dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yakni rehabilitasi.
Undang – undang dengan tegas memberikan batasan tentang apa yang dinamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara. Batasan tersebut adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata(pasal 1 angka3). U
Bila seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang dengan menggunakan alasan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 53 ayat (2) yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tindak pengambilan keputusan tersebut.
Pada dasarnya gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat, dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat diterima atau diumumkannya keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi dalam hal tergugat tidak berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka menurut pasal 54 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 gugatan dapat diajukan kepengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.64

D. Peranan Peradilan Administrasi dalam Sengketa Pajak
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara yang mulai berlaku pada akhir tahun 1990, 5 tahun setelah undang-undang ini disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yaitu pada tahun 1986, merupakan produk perundang-undangan yang sangat baru. Peradilan tata usaha negara baru berjalan pada permulaan tahun 1991, baru berjalan 6 bulan. Sehingga dalam hal ini semua kalangan menganggap bahwa perlu dipelajarinya mengenai arti pentingnya peradilan administrasi negara.
Kalangan paktisi hukum, juga masyarakat luas dan mereka yang belajar dan berkecimpung dalam ilmu pemerintahan maupun politik perlu untuk mempelajarinya sehingga dapat memahami dengan baik peran peradilan tata usaha negara dalam ruang lingkup persoalannya, terutama terkait dengan asas-asas pemerintahan umum yang layak.65 dalam konteks hukum tata usaha negara terkait dengan persoalan sengketa perpajakan tentunya harus dilihat dari unsur-unsurnya terlebih dahulu sehingga pada akhirnya kita akan dapat melihat peranan hukum administrasi negara dalam sengketa perpajakan. Yang mana unsur-unsurnya antara lain adalah :
b. Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
c. Diberlakukanya “Hukum publik” atau Hukum Administrasi terhadap persoalan yang diajukan.
Terhadap hal tersebut, maka terhadap persoalan On- Rechtmatige Overheidsdaad (Perbuatan penguasa yang melanggar Hukum) unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang peradilan administrasi pajak ialah sifat dan pihaknya yang berselisih dan sifat perselisihannya. Disini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam kualitasnya sebagai pemungut pajak(fiskus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak. Peradilan administrasi pajak yaitu peradilan yang menyelesaikan semua macam dan semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak.66
D.1. Unsur-unsur peradilan pajak
Unsur-unsur yang diperlukan supaya dapat dikatakan adanya suatu peradilan (biasa) adalah :
a. Adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret
c. Adanya sekurang-kurangya dua pihak
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan adminisrasi, maka disampng unsur-unsur tersebut harus dipenuhi, harus ada unsur-unsur lainya, yaitu :
a. Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus Administrasi yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
b. Diberlakukannya “hukum publik” atau Hukum Administrasi Negara terhadap persoalan yang diajukan.67
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka terhadap persoalan On-Rechtmatige Oerheidsdaad (perbuatan penguasa yang melanggar hukum) tidak termasuk wewenang peradilan Administrasi karena hukum menerapkan ketentuan hukum perdata dan bukan ketentuan hukum publik. Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang peradilan administrasi pajak ialah sifat dan pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Disini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam kualitasnya sebagai pemungut pajak(fiskus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.68
D.2. Pemasukan surat keberatan
Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun pajak 1985 dan 1986. keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Tahun 1985 dan tahun 1986 tersebut harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak atau SKP sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 25 ayat 1 undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tantang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan maksud supayawajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasanya. Apabila ternyata batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar dari kekuasaan wajib pajak (Force Mejure) maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapaaaaat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal ini pengajuan surat keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk melakukan tindakan penagihan. Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibanya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.69
D.3. Isi Surat Keberatan
Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi tentang isi surat keberatan, meskipun undang-undang tidak memberikan perinciaan secara tersurat, namun kalau diteliti lebih jauh maka tampak tersirat 5 (lima) hal yang merupakan syarat minimum, yaitu :
a. Peryataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak.
b. Jenis pajaknya
c. Tahun pajaknya
d. Nomor pajaknya
e. Nama dan tanda tangan wajib pajak.
Pada lazimnya surat keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya surat keberatan. Meskipun demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna menyakinkan pejabat-pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan tersebut.
Surat keberatan yang tidak disertai dengan alasan-alasan adalah lemah, karena itu besar kemungkinannya bahwa keberatannya akan ditolak. Alasan yang diberi oleh undang-undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya akan berkisar pada dasar-dasar pengenaan pajak yang telah ditetapkan oleh kantor pelayanan pajak setempat. Sebagai contoh, pengenaan pajak penghasilan berdasarkan undang-undang pajak penghasilan nomor 17 tahun 2000. berdasarkan ketentuan pasal 4 dari undang-undang ini maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri dari :
1. Penghasilan dari pekerjaan.
2. Penghasilan dari kegiatan usaha
3. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
4. Penghasilan lain-lain.
Dalam surat pemberitahuannya tersebut wajib pajak berkewajiban memasukan seluruh jenis sumber penghasilannya, akan tetapi karena ketidakjujuranya wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang melakukan penilaian atas surat pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk mengadakan penilaian ini adalah Direktorat Jenderal Pajak (fiskus) dapat menyimpang dari surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tidak didasarkan atas surat pemberitahuan dari wajib pajak. Pengenaan pajak secara sepihak oleh Dirjen Pajak dapat digunakan oleh wajib sebagai alasan keberatan. Maka ketidakbenaran penetapan pajak secara sepihak tadi harus dapat dibuktikan oleh wajib pajak.
Apabila dalam hal ini wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak, kewenangan penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan putusannya.70
D.4. Keputusan Atas Surat Keberatan
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa :
1. menerima seluruhnya atau sebagian.
2. Menolak seluruhnya keberatan.
Bila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup didalamnya dinyatakan bahwa keberatan si pemohon dapat diterima dan karena itu pajak di kurangkan.
Bila surat keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah hutang pajak ada kemungkinan bertambah ataupun tetap jumlahnya. Wajib pajak yang tidak menerima keputusan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak mengenai keberatan tersebut, dapat mengajukan “banding” ke pengadilan pajak yang berkedudukan di Jakarta.71


BAB III
ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN PUTUSAN “UPLIFT” DI INDONESIA TERKAIT DENGAN SENGKETA PAJAK MIGAS ANTARA PIHAK DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PADA KPP BANDORA II DENGAN SEAUNION ENERGY LIMAU LTD.

1. Para Pihak dan Posisi Kasus
a. Seaunion Energy Limau Ltd dalam hal ini diwakili oleh Helen H. Lu Tung, warga Amerika Serikat, pekerjaan Presiden Seaunion Energy Limau Ltd, beralamat di Gedung Bidakara Lt.5 jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 71-73 Pancoran Jakarta, dalam perkara ini memberikan kuasa kepada :
1. Ir. Yan Mustafa Amir,SH
2. Ari Yusuf Amir,SH.,MH
3. DR. Syarif Hamid,SH
4. Sugito,SH
5. Yanto Aprianto,SH
6. Djufri Taufik,SH
7. M.Hidayat Imran Kadir,SH
8. Widyawan Ali,SH
9. Elly Muzdalifah,SH
Kesemuanya berkewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Advokat AIL AMIR & ASSOCIATES Law Firm, beralamat di Graha Surya Internusa 8 FI Suite 801 jalan Rasuna Said Kav X-0, Kuningan Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 Maret 2005 No. 044/AAA/III/2005, untuk selanjutnya disebut sebagai Pengggugat.
b.Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Dua, berkedudukan di jalan Taman Makam pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dalam perkara ini memberikan kuasa kepada :
1. R.Efendy Dharma Saputra,SH.,LL.M
2. Prasetijo,SH.,MH
3. Trilawanti,SH.,LL.M
4. Gunawan Pribadi,SE.,MBT,AK
5. Ignatius Tri Agung Widianto
6. Marwali Hasibuan,SH
7. Suhendra Wisnu,SH
8. Moch. Arief Mucharom,SH
9. Boby Ariwibowo,SH.,MM
10. Francisca Warastuti,SH
11. Lestari,SH
Kesemuanya berkewarganegaraan Indonesia, pekerjaan sebagai karyawan pada kantor pelayanan pajak Badan dan Orang Asing Dua, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 19 April 2005 nomor : S-112/WPJ.07/KP.1006/2005, untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat.
Dalam hal ini bahwa duduk perkara yang terjadi, penggugat telah mengajukan gugatan kepada tergugat dengan surat gugatannya tertanggal 31 Maret 2005 yang telah diterima dan terdaftar


2. Ringkasan Putusan dan Alat –alat Bukti
Inti Gugatan
Intisari dalam gugatan bahwa surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) yang dikeluarkan oleh KPP Bandora dua adalah tidak memiliki dasar hukum yang mengatur secara jelas dan tegas yang mengharuskan penggugat untuk membayar pajak penghasilan (PPh) pasal 26 ayat 4 dan pajak penghasilan badan pasal 25 UU Nomor 17 tahun 2000 atas Uplift yang dibayarkan Pertamina kepada penggugat. Sehingga dapat disimpulkan pengenaan PPh pasal 26 ayat 4 dan PPh badan pasal 25 UU Nomor 17/2000 hanyalah penafsiran sepihak dari tergugat.
Bahwa keputusan tergugat berupa SKPKB terhadap penggugat atas PPh pasal 26 ayat 4 dan PPh badan pasal 25 UU Nomor 17/2000 dan surat paksa melanggar Asas-asas umum pemerintahan yang layak dikarenakan tidak adanya dasar hukum, baik perundang-undangan maupun peraturan pemerintah dan menteri keuangan yang mengatur secara jelas dan tegas bahwa tergugat dapat mengenakan pajak atas Uplift terhadap penggugat, sehingga nyata-nyata kebijakan tersebut bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang layak sebagaimana di maksud dalam penjelasan pasal 53 ayat 2 UU Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.
Isi Putusan
Dalam isi putusan PTUN Jakarta yang mana dalam nomor putusannya 54/G.TUN/ 2005/ PTUN. JKT pada tanggal 20 juli 2005 yang memenangkan gugatan Seaunion Energy Limau Ltd. Terhadap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Badan dan Orang Asing Dua berkaitan dengan penerbitan surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas Uplift.
Putusan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mengabulkan gugatan penggugat
b. Menyatakan kebijakan tergugat menetapkan pajak penghasilan atas Uplift melanggar asas keadilan, asas persamaan beban dan asas proporsionalitas.
c. Membatalkan SKPKB PPh pasal 26, SKPKB pajak penghasilan badan dan membatalkan surat paksa.
d. Mewajibkan tergugat mencabut SKPKB PPh pasal 26, SKPKB pajak penghasilan badan dan membatalkan surat paksa.
e. Menyatakan penetapan majelis hakim Nomor : 54/G. TUN/2005/PTUN.JKT tanggal 17 Mei 2005 tentang penundaan keputusan TUN obyek sengketa tetap dinyatakan berlaku dan berkekuatan hukum sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
f. Menghukum tergugat dengan membayar biaya perkara Rp. 175.000,-1
Inti Pertimbangan Putusan.
Bahwa pihak Direktorat Jenderal Pajak hanya memandang Uplift sebagai penambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh darimanapun asalnya, adalah tindakan yang sewenang- wenang jika tanpa memperhitungkan setiap bentuk apapun yang mengurangi kemampuan ekonomis yang ditanggung oleh penggugat darimanapun asalnya yang seharusnya digabungkan dan atau dikompensasikan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak (pasal 4 ayat 1 dan penjelasan dari undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan).
Bahwa tergugat menetapkan pajak dengan mendasarkan pada Uplift sebagai sesuatu yang menambah kemampuan ekonomis penggugat sehingga ditetapkan sebagai obyek pajak penghasilan tanpa menghitung atau mengkompensasikan secara keseluruhan besarnya biaya dan resiko yang ditanggung oleh penggugat, sehingga terbukti tergugat telah bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar asas keadilan. Selain itu tergugat juga tidak memperhitungkan resiko yang ditanggung penggugat berupa resiko produksi, yaitu apabila produksi tidak mencapai batas Incremental Oil atau melampaui Primary Oil maka penggugat tidak mendapatkan apapun meski seluruh biaya 100 % (persen) ditanggung oleh penggugat.
Bahwa tergugat juga terbukti telah melanggar asas-asas persamaan beban dan asas proporsionalitas. Atas seluruh pertimbangan hukum dan fakta –fakta tersebut, majelis hakim berpendapat, tergugat terbukti telah bertindak sewenang-wenang didalam kebijakannya menetapkan Uplift sebagai obyek pajak penghasilan karena melanggar asas keadilan, asas persamaan beban dan asas peoporsionalitas dalam asas-asas umum pemerintahan yang layak, sebagaimana diatur oleh pasal 53 ayat 2 dan penjelasannya dari UU No. 9 Tahun 2004. dengan demikian kebijakan tergugat dalam bentuk surat-surat keputusan TUN sebagai obyek sengketa mengandung cacat hukum dan oleh karenanya harus dibatalkan. Atas dasar itulah diatas majelis hakim memutuskan perkara ini dan memutuskan memenangkan penggugat dalam perkara ini.


Alat-alat Bukti
Dalam hal ini ada beberapa alat-alat bukti dari masing-masing pihak, Baik itu dari pihak penggugat maupun dari pihak tergugat, tujuan daripada alat bukti yang diajukan oleh masing-masing pihak adalah untuk menguatkan dalil-dalil gugatan penggugat atau tergugat. Bukti yang diajukan berupa foto copy surat-surat yang telah diberi materai cukup dan telah disesuaikan dengan aslinya sehingga dalam hal ini dapat dijadikan alat bukti yang sah. Bagi alat bukti penggugat diberi tanda P-1 s/d P-22.2 sedangkan untuk bukti-bukti dari tergugat telah diberi tanda T-1 s/d T- 23.3 Tidak hanya bukti tertulis dari masing –masing pihak, namun dalam hal ini juga dimintakan beberapa keterangan dari 2 orang saksi ahli yaitu dari pihak penggugat.
4. Pertimbangan filosofis dan yuridis dimasukannya Uplift sebagai obyek pajak PPh
Tugas Negara pada prisipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus tampil kedepan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama dibidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan umat manusia.
Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang cukup besar. Negara mencari pembiayaan dengan cara menarik pajak. Penarikan dan pemungutan pajak adalah suatu fungsi esensial. Dibeberapa negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan Conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak sudah dapat dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti di Indonesia.4
Dalam hal ini dapat sedikit disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “Benefit Approach” atau pendekatan dengan asas manfaat.2 Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan pemugutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan dengan asas manfaat ini mendasarkan pada suatu falsafah : oleh karena negara menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh warganya yang berdiam di negara, maka negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan.3
Bentuk manfaat yang dapat dinikmati oleh warga negara adalah : kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan, penggunaan fasilitas umum. Penyediaan fasilitas umum tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri oleh pihak perorangan ataupun pihak swasta. Oleh karena itu negara tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan atau menciptakan kesejahteraan untuk seluruh warganya.4
Sesuai dengan hukum, bahwa tujuan daripada hukum pajak adalah membuat adanya sebuah keadilan dalam soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh baik dalam prinsip perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. Inilah sendi pokok yang seharusnya diperhatikan oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak.5


5. Analisa yuridis penetapan putusan PTUN atas sengketa pajak KPP BANDORA II dengan Seaunion Energy Limau Ltd

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
A.1. Pertimbangan filosofis dan yuridis dimasukannya Uplift sebagai obyek pajak PPh.
Majelis Hakim PTUN Jakarta dengan kewenangannya telah menetapkan suatu keputusan yang tepat dan benar serta obyektif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan ini merupakan tonggak sejarah baru bagi penegakan hukum dan kepastian hukum di Indonesia terutama dimata para Investor asing Internasional bahwa hukum masih bisa ditegakkan di Indonesia, sehingga masih ada kepastian hukum bagi para kontraktor minyak yang beroperasi di Indonesia maupun untuk calon Investor lainnya.
Keputusan yang telah diambil oleh PTUN Jakarta akan berdampak positif dengan terciptanya suatu iklim investasi yang baik dan kondusif sehingga akan memberikan dampak rasa aman dan nyaman bagi investor untuk tetap berusaha di Indonesia dan akan merangsang para calon investor baru untuk berkenan menanamkan investasinya di Indonesia.
Suatu iklim yang kondusif tentunya akan meningkatkan pendapatan Negara yang lebih besar dengan bertambahnya investor asing maupun pengusaha swasta nasional berusaha di Indonesia, semakin banyak tersediannya lapangan kerja baru, semakin meningkatnya produksi minyak dan gas bumi semakin terjaminnya suplai BBM dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang pada gilirannya akan meningkatkan ketahanan ekonomi dan politik menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kita tentunya bersepakat bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor penerimaan pajak dengan melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi terhadap obyek pajak. Namun juga harus dikaji secara cermat dan mendalam dengan berbagai pertimbangan yang matang setelah ditinjau dari segala aspek (hukum, kontraktual, proses kejadiannya) terhadap obyek yang akan dikenakan pajak. Jangan sampai gegabah dalam menetapkan suatu kebijakan atas pengenaan pajak terhadap suatu obyek pajak yang belum diyakini secara pasti kebenarannya bahwa obyek pajak tersebut dapat dikenakan pajak. Sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara harus didasarkan atas peraturan dan tata perundang-undangan yang berlaku dalam menyelenggarakan administrative Tata Usaha Negara. Setiap kebijakan Pajabat Tata Usaha Negara harus dapat dipertanggungjawakan secara hukum.
Dalam konteks masalah pengenaan pajak atas Uplift, KPP Bandora Dua tidak cermat dan kurang memahami secara mendalam apa yang dimaksud dengan Uplift dan bagaimana kedudukannya Uplift tersebut dalam perpajakan. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan kepala KPP Bandora Dua telah membuat keputusan yang salah dan merugikan pihak lain khususnya dalam konteks permasalahan ini adalah pihak Seaunion Energy Limau Ltd. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain adalah :
1. Direktorat Jenderal Pajak KPP Bandora Dua salah dalam menetapkan Uplift sebagai obyek pajak pada Seaunion Energy Limau Ltd, Sebelum menetapkan kebijakan pengenaan pajak atas Upilft seharusnya terlebih dahulu melihat dari aspek tujuan hukum pajak pada umumnya. Kita pernah mendengar ajaran berbagai sarjana, salah satunya adalah Ariestoteles yang terkenal dalam bukunya Rethorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. Sesuai dengan tujuan hukum itu, kebanyakan sarjana menganggap pula bahwa tujuan hukum pajak adalah membuat adanya sebuah keadilan dalam soal pemungutan pajak. Filosofi nilai keadilan ini harus dipegang teguh dalam prinsip mengenai perundang-undangan maupun dalam prakteknya sehari-hari. Bahwa seharusnya hukum bertugas untuk membuat adanya sebuah keadilan. Harapannya penyelenggara negara dan masyarakat mampu untuk menciptakan suasana keteraturan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Salah dalam penggunaan pasal dari undang-undang No : 7 tahun 1983 tantang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan undang-undang No : 17 tahun 2000. dalam kasus ini seharusnya pihak KPP Bandora Dua tidak menggunakan pasal 4 ayat 1 yang menjadi obyek pajak, sebagaimana dasar pengenaan Uplift sebagai obyek pajak penghasilan tetapi seharusnya menggunakan pasal 4 ayat 3 huruf c, yang menyatakan bahwa Uplift seharusnya tidak menjadi obyek pajak. Mengingat yang dimaksud dengan Uplift dalam Enhanced Oil Recovery Contract (kontrak perjanjian antara pihak Pertamina dengan Seaunion Energy Limau Ltd) adalah sama dengan yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf c.
3. Salah dalam penggunaan keputusan Menteri Keuangan No: 267/ KMK.012/ 1978 yang telah dirubah terakhir dengan surat keputusan Menteri Keuangan No : 458/ KMK.012/ 1984 tentang tata cara perhitungan dan pembayaran pajak perseroan dan pajak atas bunga, devident dan royalty yang terhuitang oleh kontraktor yang mengadakan kontrak bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi dengan pihak Pertamina. Keputusan Menteri Keuangan tersebut digunakan untuk menghitung besarnya recoverable cost, taxs deductable, besarnya pajak penghasilan (corporate tax) atas pendapatan kena pajak (taxable income) sehingga dapat terpenuhi prinsip-prinsip kontrak bagi hasil produksi minyak dan gas bumi after tax serta tata cara pembayarannya ke kas negara. tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk pengenaan pajak Uplift atas reimbrusment cost yang diterima oleh kontraktor.
4. Telah melanggar undang-undang No: 8 tahun 1971 tentang Pertamina yang disebutkan bahwa kewenangan pemeriksaan perpajakan kontraktor yang mengadakan kontrak bagi hasil dibidang minyak dan gas bumi dengan Pertamina adalah BPKP. Yang mana kemudian Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora Dua menganulir dan menetapkan lain atas ketetapan BPKP perihal status temuan perpajakan Uplift hasil pemeriksaan pembukuan laporan keuangan JOB Seaunion Energy Limau Ltd yang telah ditetapkan selesai atau dengan kata lain dinyatakan Drop, sehingga tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi.

A.2. Penetapan Putusan PTUN Atas Sengketa Pajak KPP Bandora Dua dengan Seaunion Energy Limau Ltd.
1. Bahwa Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora Dua bertindak sewenang- wenang dan melanggar asas- asas umum pemerintahan yang baik dengan mengeluarkan SKPKB pajak penghasilan badan, SKPKB pajak penghasilan pasal 26 ayat 4, surat paksa, pemblokiran rekening Bank Seaunion Energy Limau Ltd pada JP. Morgan Chase Bank dan penetapan pencegahan penanggung pajak untuk pergi keluar negeri, karena penerbitannya hanya bedasarkan penafsiran atau interpretasi sepihak dari tergugat saja, tanpa memperhitungkan keberatan dan kepentingan pihak yang terkait yaitu dalam hal ini adalah Seaunion Energy Limau Ltd sebagai pihak penggugat.
2. Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora Dua juga Salah dalam menafsirkan obyek sengketa, berdasarkan prosesi di persidangan yang dilakukan pada PTUN Jakarta. Pihak tergugat dalam hal ini adalah KPP Bandora Dua yang diwakili oleh kuasa hukumnya. Pada proses Eksepsi Kompetensi absolut, bahwa tergugat mengatakan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa pajak tersebut adalah pengadilan pajak dengan dasar dan pertimbangan hukum yang telah disampaikan. Namun kenyataannya Seaunion Energy Limau Ltd tidak mempermasalahkan tentang besaran nominal pengenaan pajak Uplift oleh KPP Bandora Dua yang harus disetorkan ke kas Negara sebagaimana tercantum dalam SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh pasal 26 ayat 4. tetapi yang dipermasalahkan oleh Seaunion Energy Limau Ltd adalah tentang keabsahan penggunaan wewenang yang dilakukan oleh KPP Bandora Dua dengan menetapkan obyek pajak atas Uplift, kenapa terhadap Uplift dikenakan pajak, apa dasar hukum atas kebijakan tersebut dan apakah menurut hukum tindakan tersebut sudah benar.

Oleh karena itu cukup jelas bahwa permasalahan tersebut bersifat sengketa administrative. Sebagai akibat adanya kesalahan penggunaan wewenang kepala KPP Bandora Dua menerbitkan SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh pasal 26 ayat 4 dan surat paksa kepada Seaunion Energy Limau Ltd. Sebagaimana diketahui bahwa kompetensi PTUN sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang PTUN adalah melakukan uji keabsahan penggunaan wewenang pemerintahan (Tindakan hukum publik) tersebut yang sudah berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara(KTUN) yang bersifat konkrit, individual dan final. Sehingga berdasarkan hasil Putusan Sela PTUN No: 054/ G.TUN/ 2005/ PTUN-JKT terbukti bahwa PTUN Jakarta berwenang untuk memeriksa dan mengadili obyek sengketa antara Seaunion Energy Limau Ltd terhadap KPP Bandora Dua.
Ditinjau dari beberapa aspek yuridis menunjukan bahwa Uplift bukan merupakan obyek pajak, sehingga apabila pihak dari KPP Bandora Dua akan melakukan upaya banding ketingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan atau ketingkat yang lebih tinggi akan merupakan upaya sulit dan sia-sia.

B. Saran
1. Perlu sebuah aturan yang jelas untuk mengatur persoalan Uplift, yang mana selama ini masih ada ketidakjelasan produk regulasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang definisi Pajak Penghasilan. Sehingga pihak Direktorat Jenderal Pajak pada KPP Bandora Dua menginterpretasikan lain daripada isi ketentuan perjanjian antara Pertamina dengan Seaunion Energy Limau Ltd mengenai Production Sharing Contract (kontrak bagi hasil) terhadap minyak dan gas bumi.

2. Segera dibuat regulasi dengan mekanisme yang transparan terhadap proses penentuan besaran Pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah sebagai penagih pajak. Dan memperjelas kewenangan dari BPKP sebagi lembaga yang bertugas meng-Audit keuangan daripada perusahaan yang kena pajak. Sehingga kedepannya pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan yang menganulir temuan BPKP mengenai pengenaan pajak pada wajib pajak.


Daftar Pustaka

Literatur

Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press, 2002, Jakarta.

Edi Slamet Irianto, Politik Perpajakan membangun demokrasi Negara, UII Press, 2005, Yogyakarta.

Gorys Keraf, Komposisi, Ctk. Keenam, Nusa Indah, 1979, Jakarta.

H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, 2004, Jakarta.

Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2003, Jakarta

Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di pengadilan Tata Usaha Negara, pustaka sinar Harapan,Jakarta.

J. Suyuthi Pulungan, Prinsib-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Quran, PT Raja Grafindo Persada, 1994, Jakarta.

Kesit Prakoso, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, 2003, Yogyakarta.

Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Bina Cipta, Bandung.

Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum suatu studi tentang prinsib-prinsibnya dilihat dari segi hukum islam, Implementasinya pada periode negara madinah dan masa kini, Bulan Bintang, Jakarta.

Muqodim, Perpajakan, FE UII, 2003, Yogyakarta.

Philiphus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, 2002,Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, 1986, Bandung.

Rahmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan II, PT. Eresco, Bandung.

Ridwan HR, Hukum Adminstrasi Negara,Ctk. Kedua, UII Press, 2003,Yogyakarta.
S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, 2003, Jakarta.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk Ketiga, UI Press, 1986, Jakarta.

Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, 1989, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Sudikno Mertokoesoemo, 1983, Sejarah Peradilan dan Perundang- Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Sudikno Mertokoesoemo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Viktor Situmorang, Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha Negara,Ctk.II,Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

Y. Sri Pudyatmoko, 2005, Pengadilan dan penyelesaiaan Sengketa di Bidang Pajak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ctk. Ketiga, RajaGrafindo Persada, 2002, Jakarta.

Jurnal dan Makalah Ilmiah
Yus Ruswaya, Praktisi perminyakan “Aspek perpajakan Uplift Enhanced Oil Recovery Contract Between Pertamina and Seaunion Energy Limau.Ltd”

Khaidir Riswan, Resume Laporan Dewan Pengurus Pusat Yayasan Hemat Minyak & Energi (YAHEMIE) terkait persoalan “UPLIFT”. Antara pihak Pertamina dengan Seaunion Energy Limau. Ltd., Gedung NINDYA Karya, lantai 3 ruang 305

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang0Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah, sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 2003 tentang Sekretariat pengadilan Pajak.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 449/KMK.01/2003 Tanggal 9 Oktober 2003 Tentang tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc Pada Pengadilan Pajak.

Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak : SE-17/PJ./2003 tentang tata cara penanganan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung.

Keputusan ketua pengadilan Pajak Nomor : KEP-005 Tahun 2002 tentang rincian biaya perkara peninjauan kembali.

Artikel Koran dan Internet

1. Bisnis Indonesia, Jum’at 27 Mei 2005
2. Antara News, May 27,2005
3. Republika, Senin 30 Mei 2005
4. Pikiran Rakyat, Bandung, Senin 30 Mei 2005
5. Bisnis Media Indonesia, Sabtu 28 Mei 2005
6. Suara Merdeka, Jum’at 27 Mei 2005
7. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Kamis 26 Mei 2005
8. Investor Daily, Jum’at 27 Mei 2005
9. Suara Pembaharuan, Sabtu 28 Mei 2005
10. Bisnis Indonesia, Kamis 2 Juni 2005
11. Tempo, 12 Juli 2005
12. Inti Jaya, Edisi 02- 08 Juni 2005
13. Kompas, Selasa 18 Oktober 2005
14. Kompas, Rabu 19 Oktober 2005
15. Kompas, Kamis 20 Oktober 2005
17. www.rri-online.com/modules. php?name=Artikel&sid=11622 - 86k -
18. www.republika.co.id/ koran_detail.asp?id=206908&kat_id=152 - 30k -
19. www.kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id
20. www.kapanlagi.com/h/0000073539.html - 21k
21. www.klikpajak.com/berita/artikel.php?article_id=5662 - 15k